MAKALAH
“BAI’
; MACAM DAN HUKUMNYA : MURABAHAH, MUZAYADAH, MUNAQASHAH”
Diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Fiqih Muamalah
II
Dosen
Pengampu : H. Ilham Bustomi, M.Ag

Disusun
Oleh:
1. Abdul
Mujib
2. Maya Ismaya Turohim
3. Qona’ah
Nurbayinah
Semester
III
PRODI
EKONOMI SYARIAH
SEKOLAH TINGGI EKONOMI ISLAM (STEI)
AL-ISLAH
CIREBON
2015
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah,
segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Illahi Rabbi atas segala
limpahan rahmat dan hidayah_Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Bai ; Macam Dan Hukumnya :
Murabahah, Muzayadah, Munaqhasah”
Penulis
menyadari sepenuhnya dalam penulisan ini masih banyak kekurangan. Hal ini
merupakan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang penulis miliki. Penulis
akan sangat berterima kasih atas saran dan kritik yang sifatnya membangun,
artinya masukan demi perbaikan penulisan dimasa yang akan datang sangat penulis harapkan.
Dalam penyusunan makalah ini penulis mendapatkan bimbingan, bantuan dan
dorongan dari semua pihak sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Untuk itu, penulis
menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
-
H. Ilham Bustomi, M.Ag selaku Dosen Pengampu yang telah
memberikan tugas, petunjuk kepada penulis sehingga penulis termotivasi dan
menyelesaikan tugas ini.
Semoga
makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan.
Khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai.
Cirebon,
02 September 2015
Penyusun
KATA PENGANTAR
...........................................................................................
|
i
|
DAFTAR ISI ..........................................................................................................
|
ii
|
BAB I PENDAHULUAN
|
|
A. Latar
Belakang Masalah...............................................................................
|
1
|
B. Rumusan
Masalah........................................................................................
|
1
|
C. Tujuan
penelitian.........................................................................................
|
2
|
BAB II TEORI DASAR
|
|
A.
Bai’
Murabahah...........................................................................................
|
3
|
B. Bai’ Muzaayadah.........................................................................................
|
7
|
C. Bai’
Munaqhasah.........................................................................................
|
10
|
BAB III PENELITIAN......................................................................................
|
15
|
BAB IV ANALISIS............................................................................................
|
21
|
BAB V
PENUTUP
|
|
Kesimpulan..............................................................................................................
|
34
|
DAFTAR
PUSTAKA
|
|
DAFTAR
ISI
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Dalam Al-Bai’ di tinjau dari harga al-Bai’ dapat di
kategorikan menjadi beberapa jenis diantaranya adalah Murabahah, Muzayadah dan
Munaqhasah. Jual beli dalam terminologi fikih disebut dengan al-Bai’ yang
secara etimologis dapat diartikan dengan tukar menukar sesuatu dengan sesuatu
yang lain. Lafad al-Bai’ dalam bahasa arab terkadang digunakan untuk pengertian
lawannya, yaitu kata asy-syira (beli). Dengan demikian kata al-bai’ berarti
jual, tetapi sekaligus juga berarti beli. Secara konseptual, murabahah sebagai
salah satu bentuk jual beli, sangat banyak dibicarakan oleh kalangan ulama’
fiqh dan secara operasional dia merupakan salah satu produk perbankan Islam
diantara produk-produk lainnya.
Bai'
muzayadah atau juga dipanggil sebagai jual beli secara lelong (auction). Dalam
transaksi ini, barang lelongan akan dijual kepada pembeli yang dapat menawarkan
harga yang paling tinggi. Namun satu perkara yang perlu dihindari, iaitu
lelongan yang bercampur baur dengan bidaan palsu, semata-mata untuk menaikan
harga barang lelongan tersebut. Situasi ini menjurus ke arah
wujudnya elemen penipuan dalam transaksi. Sekiranya ia jelas berlaku,
transaksi tersebut dianggap tidak sah dari segi hukum.
Bai’Munaqosah
(tender) juga memiliki makna penawaran
yaitu suatu penawaran atau pengajuan oleh pentender untuk memperoleh
persetujuan (acceptance) mengenai alat bayar sah (legal tender), atau jasa guna
melunasi suatu hutang atau kewajiban agar terhindar dari hukuman atau penyitaan
jika tak dilunasi. Dalam kontrak bisnis, tender merupakan suatu penawaran yang
dilakukan oleh pemasok (supplier) atau kontraktor untuk memasok/memborong
barang atau jasa berupa penawaran terbuka (open tender) di mana para peserta
tender dapat bersaing menurunkan harga dengan kualitas yang dikehendaki; atau
berupa penawaran tertutup (sealed tender) di mana penawaran dimasukkan dalam
amplop bermaterai dan dibuka secara serempak pada saat tertentu untuk dipilih
yang terbaik dari aspek harga maupun kualitas dan para peserta dapat menurunkan
harga lagi
B. Rumusan
Masalah
Ada beberapa permasalahan yang timbul dari
pembiayaan bai’ murabahah, bai muzayadah di BMT Al-Ishlah dan bai Muzayadah di
kopontren Al-Ishlah :
1. Bagaimana pembiayaan murabahah di BMT
Al-Ishlah ?
2. Bagaimana pembiayan
muzayadah?
3. Bagaimana pembiayaan Munaqasah?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui pembiayaan
murabahah di BMT Al-Ishlah
2.
Untuk mengetahui pembiayan muzayadah
3.
Untuk mengetahui pembiayaan Munaqasah
BAB
II
TEORI
DASAR
A. Murabahah
1.
Pengertian
Bai’ Murabahah
Murabahah berasal dari kata al-ribh
(keuntungan), secara bahasa Murabahah
yaitu saling memberi keuntungan. Secara istilah Murabahah di definisikan
oleh ulama dengan redaksi yang beragam. Murabahah berasal dari kata al-ribh
(keuntungan), secara bahasa Murabahah yaitu
saling memberi keuntungan.[1]
Sedangkan pengertian
Murabahah dalam perbankan syari’ah adalah transaksi jual beli dimana bank
menyebut jumlah keuntungannya. Bank bertindak sebagai penjual, sementara
nasabah sebagai pembeli. Kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka
waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah
disepakati, tidak dapat berubah selama berlakunya akad ,sementara pembayaran
dilakukan secara tangguh.[2]
2.
Jenis-Jenis Bai’
Murabahah
Murabahah pada prinsipnya adalah jual beli dengan keuntungan, hal ini bersifat dan
berlaku umum pada jual beli barang-barang yang memenuhi syarat jual beli murabahah.
Dalam Murabahah dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (Wiroso,2005: 38):
1)
murabahah
tanpa pesanan, maksudnya ada yang pesan atau
tidak, ada yang beli atau tidak, bank syariah menyediakan barang dagangannya.
Penyediaan barang pada murabahah ini tidak terpengaruh atau terkait
langsung dengan ada tidaknya pesanan atau pembeli.
2)
Murabahah
berdasarkan pesanan, maksudnya bank syariah
baru akan melakukan transaksi murabahah atau jual beli apabila ada
nasabah yang memesan barang sehingga penyediaan barang baru dilakukan jika ada
pesanan. Murabahah berdasarkan pesanan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:
a)
murabahah berdasarkan pesanan dan bersifat mengikat ,
maksudnya apabila telah pesan harus dibeli.
b)
murabahah
berdasarkan pesanan yang bersifat tidak
mengikat, maksudnya walaupun nasabah telah memesan barang, tetapi nasabah tidak
terikat, nasabah dapat menerima atau membatalkan barang tersebut.
3.
Hukum Bai’ Murabahah
Landasan hukum akad
murabahah ini adalah:
a)
Al-Quran
Ayat-ayat Al-Quran
yang secara umum membolehkan jual beli, diantaranya adalah firman Allah:
وَأَحَلَّ
اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: "DanAllahmenghalalkanjualbeli
dan mengharamkan riba" (QS. Al-Baqarah:275).
Ayatinimenunjukkanbolehnyamelakukantransaksijualbeli dan murabahahmerupakansalahsatubentukdarijualbeli.
Dan firman Allah
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلاَّ
أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu” (QS. An-Nisaa:29).
b) Assunnah
I. Sabda Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wassallam: “Pendapatan yang paling afdhal
(utama) adalah hasil karya tangan seseorang dan jual beli yang mabrur”.
(HR. Ahmad Al Bazzar Ath Thabrani).
II. Hadits dari riwayatIbnuMajah,
dari Syuaib:
أَنَّ
النَّبِي صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ثَلاَثٌ فِيْهِنَّ
البَرَكَة: البَيْعُ إِلىَ أَجَلٍ, وَالمُقـَارَضَة, وَ خَلْطُ البُرّ
بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَ لِلْبَيْعِ. (رَوَاهُ ابْنُ مَاجَه)
”Tiga
perkara yang didalamnya terdapat keberkahan: menjual dengan pembayaran secara
tangguh, muqaradhah (nama lain dari mudharabah), dan mencampur
gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan tidak untuk dijual” (HR. Ibnu
Majah).
III. Ketika Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wassallam akan hijrah, Abu Bakar Radhiyallahu
'Anhu, membeli dua ekor keledai, lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wassallam berkata kepadanya, "jual kepada saya salah satunya",
Abu Bakar Radhiyallahu 'Anhu menjawab, "salah satunya jadi milik
anda tanpa ada kompensasi apapun", Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wassallam bersabda, "kalau tanpa ada harga saya tidak mau".
IV. Sebuah
riwayat dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'Anhu, menyebutkan bahwa boleh
melakukan jual beli dengan mengambil keuntungan satu dirham atau dua dirham
untuk setiap sepuluh dirham harga pokok (Azzuhaili, 1997, hal 3766).
V.
Selain itu, transaksi dengan menggunakan akad jual beli murabahah ini
sudah menjadi kebutuhan yang mendesak dalam kehidupan. Banyak manfaat yang
dihasilkan, baik bagi yang berprofesi sebagai pedagang maupun bukan.
c)
Al-Ijma
Transaksi
ini sudah dipraktekkan di berbagai kurun dan tempat tanpa ada yang
mengingkarinya, ini berarti para ulama menyetujuinya (Ash-Shawy, 1990., hal.
200.).
d)
Kaidah Fiqh, yang menyatakan:
الأَصْلُ
فِِى المُعَامَلاَتِ الإِبَاحَة ُ إِلا َّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلىَ
تَحْرِيْمِهَا
“Pada dasarnya, semua
bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
e)
Fatwa Dewan Syariah Nasonal Majelis
Ulama Indonesia No.04/DSN-MUI/IV/2000, tentang MURABAHAH.[3]
4. Rukun Dan
Syarat-Syarat Bai’ Murabahah
Rukun murabahah adalah:
a)
Adanya pihak-pihak yang melakukan akad, yaitu:
a.
Penjual
b. Pembeli
b)
Obyek yang diakadkan, yang mencakup:
a.
Barang yang diperjualbelikan
b. Harga
c)
Akad/Sighat yang terdiri dari:
a.
Ijab (serah)
b. Qabul
(terima)
Selain itu ada beberapa syarat-syarat sahnya jual beli murabahah
adalah sebagai berikut:
·
Mengetahui Harga pokok
Harga beli awal (harga pokok) harus diketahui oleh pembeli kedua, karena
mengetahui harga merupakan salah satu syarat sahnya jual beli yang menggunakan
prinsip murabahah. Mengetahui harga
merupakan syarat sahnya akad jual beli, dan mayoritas ahli fiqh menekankan
pentingnya syarat ini. Bila harga pokok tidak diketahui oleh pembeli maka akad
jual beli menjadi fasid (tidak sah) (Al-Kasany, hal.3193). Pada praktek
perbankan syariah, Bank dapat menunjukkan bukti pembelian obyek jual beli murabahah
kepada nasabah, sehingga dengan bukti pembelian tersebut nasabah mengetahui
harga pokok Bank.
·
Mengetahui Keuntungan
Keuntungan seharusnya juga diketahui karena ia merupakan bagian dari harga.
Keuntungan atau dalam praktek perbankan syariah sering disebut dengan margin murabahah
dapat dimusyawarahkan antara bank sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli,
sehingga kedua belah pihak, terutama nasabah dapat mengetahui keuntungan bank.
·
Harga pokok dapat dihitung dan diukur
Harga pokok harus dapat diukur, baik menggunakan takaran, timbangan ataupun
hitungan. Ini merupakan syarat murabahah. Harga bisa menggunakan ukuran
awal, ataupun dengan ukuran yang berbeda, yang penting bisa diukur dan di
ketahui.
·
Jual beli murabahah tidak bercampur dengan
transaksi yang mengandung riba.
·
Akad jual beli pertama harus sah. Bila akad pertama
tidak sah maka jual beli murabahah tidak boleh dilaksanakan. Karena murabahah
adalah jual beli dengan harga pokok ditambah keuntungan, kalau jual beli
pertama tidak sah maka jual beli murabahah selanjutnya juga tidak sah
(Azzuhaily, hal. 3767-3770).[4]
B. Bai’Muzayadah
(lelang)
1.
Pengertian
Bai’ Muzaayadah
Bai'
muzayadah atau juga dipanggil sebagai jual beli secara lelong (auction). Dalam
transaksi ini, barang lelongan akan dijual kepada pembeli yang dapat menawarkan
harga yang paling tinggi.
Lelang adalah salah satu jenis jual beli
dimana penjual menawarkan barang di tengah keramaian lalu para pembeli saling
menawar dengan suatu harga. Namun akhirnya penjual akan menentukan, yang berhak
membeli adalah yang mengajukan harga tertinggi. Dalam kitab-kitab fikih atau
hadits, jual beli lelang biasanya disebut dengan istilah bai’ al-muzayadah
(adanya penambahan). Hukum lelang dalam syariat Islam boleh, Ibnu Abdil Barr
berkata “Sesungguhnya tidaklah haram menjual barang kepada orang yang menambah
harga demikianlah menurut kesepakatan ulama. Rasulullah pernah dalam suatu
waktu pernah melakukan lelang yaitu ketika ada seorang pengemis yang
meminta-minta dan disana Rasulullah melakukan lelang terhadap barang yang
dimiliki seorang pengemis tersebut. Didalam Al-qur’an diterangkan bahwa adanya
kebebasan, keleluasaan dan keluasan ruang gerak bagi kegiatan usaha umat Islam
dalam rangka mencari karunia Allah berupa rezki yang halal melalui berbagai
bentuk transaksi saling menguntungkan yang berlaku di masyarakat ataupun
merampas hak-hak orang lain secara tidak sah.
Majoriti
ulama' sepakat yang bai' muzayadah adalah dibenarkan dari segi hukum. Namun,
bagi an-Nakhai' transaksi ini adalah makruh hukumnya. Begitu juga dengan
al-Hasan al-Basari, ibn Sirin dan al-Auzai' berpandangan ianya juga makruh
kecuali lelongan harta rampasan perang dan harta pusaka.
Dalam satu Hadis yang
diriwayatkan oleh abu Najih daripada Mujahid dimana Rasulullah SAW bersabda:
"Seseorang boleh
melakukan jual beli secara lelongan. Dengan cara demikianlah seperlima harta
rampasan perang dapat dijual"[5]
2.
Jenis-jenis
Bai’ Muzaayadah
Pada umumya lelang hanya ada dua macam yaitu
lelang turun dan lelang naik. keduanya dapat dijelaskan sebagai berikut:
a)
Lelang
Turun
Lelang turun adalah suatu penawaran yang pada
mulanya membuka lelang dengan harga tinggi, kemudian semakin turun sampai
akhirnya diberikan kepada calon pembeli dengan tawaran tertinggi yang
disepakati penjual melalui juru lelang (auctioneer) sebagai kuasa si
penjual untuk melakukan lelang, danbiasanya ditandai dengan ketukan.
b)
Lelang
Naik
Sedangkan penawaran barang tertentu kepada
penawar yang pada mulanya membuka lelang dengan harga rendah, kemudian semakin
naik sampai akhirnya diberikan kepada calon pembeli dengan harga tertinggi,
sebagaimana lelang ala Belanda (Dutch Auction) dan disebut dengan lelang
naik.[6]
Ada
dua cara yang digunakan dalam sistem lelang yaitu lelang terbuka dan tertutup.
1.
Lelang
tertutup adalah lelang yang dilakukan dimana peminat mengajukan harga untuk
properti yang ia minati didalam amplop tertutup atau dirahasiakan. Dalam sistem
lelang tertutup harga penawar tertinggi tidak diketahui. Pemenang baru
diketahui setelah proses penawaran selesai dilakukan dan hasilnya diumumkan.
2.
Lelang
terbuka adalah lelang yangdiadakan oleh balai lelang dimana peminat properti
dikumpulkan di suatu tempat untuk mengikuti lelang.
Dalam
Pegadaian Syariah apabila nasabah tidak mampu membayar setelah diperpanjang
masa pembayaran uang pinjaman dan tidak melakukan perpanjangan gadai lagi, atau
pun saat jatuh tempo 4 bulan pertama nasabah menyatakan tidak sanggup untuk
memperpanjang pembayaran uang pinjaman dan berkeinginan untuk dilelang saja,
maka barang jaminan akan dilelang. Sebelum melaksanakan pelelangan itu, pihak
Pegadaian Syariah memberitahukan terlebih dahulu kepada nasabah, baik melalui
kontak langsung (lewat telepon/HP) maupun tidak langsung (melalui surat).
Pelelangan
secara tertutup dengan harga tertinggi, yang sebelumnya telah diberitahukan
dulu harga dasarnya. Hal ini dilakukan untuk mengurangi unsur kerugian dengan
ditetapkan minimal harga emas Pegadaian pada saat pelelangan, dengan margin 2 %
untuk pembeli. Dan apabila dalam pelelangan tertutup itu, harga minimal yang
telah ditetapkan Pegadaian Syariah sendiri yang membeli agar hasilnya dapat
digunakan untuk membayar atau menutupi hutang dan biaya lain dari nasabah.
Penjualan
barang gadai setelah jatuh tempo adalah sah.Hal itu, sesuai dengan maksud dari
pengertian hakikat gadai itu sendiri, yaitu sebagai kepercayaan dari suatu
utang untuk dipenuhi harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar
utangnya dari orang yang berpiutang. Karena itu, barang gadai dapat dijual
untuk membayar utang, dengan cara mewakilkan penjualannya kepada orang yang
adil dan terpercaya.
3.
Hukum
Bai’ Muzaayadah
Dalam transaksi keuangan Islam, harga ditentukan
atas dasar keinginan pembeli dan penjual. Dalam
banyak hal, barang akan terjual
kepada pembeli yang menawar dengan harga yang tertinggi. Dalam perspektif syariah, transaksi yang melibatkan
proses lelang ini disebut sebagai bay` muzayadah, yang diartikan sebagai suatu metode penjualan barang
dan atau jasa berdasarkan harga penawaran tertinggi.
Pada Bay` muzayadah ini, penjual
akan menawarkan barang dengan sejumlah pembeli yang akan bersaing untuk
menawarkan harga yang tertinggi. Proses ini berakhir dengan dilakukannya
penjualan oleh penjual kepada penawar yang tertinggi dengan terjadinya akad
dan pembeli tersebut mengambil barang dari penjual.
Lelang ada dalam Islam dan hukumnya boleh (mubah).
Ibnu Abdil Barr berkata,”Sesungguhnya tidaklah haram menjual barang kepada
orang yang menambah harga, demikianlah menurut kesepakatan ulama.”(innahu laa yahrumu al-bai’u
mimman yaziidu ittifaaqan) (Subulus Salam,Juz III/23).
Dalil bolehnya lelang adalah as-Sunnah. Imam
Bukhari telah membuat bab dengan judul Bab Bai’ Al-Muzaayadah dan di dalamnya terdapat hadits Anas bin Malik RA yang
juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad (Musnad, III/100 & 114), Abu Dawud, no. 1641; an-Nasa`i, VII/259, at-Tirmidzi,
hadits no. 1218 (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz III/23; Abdullah al-Mushlih & Shalah
ash-Shawi, ibid., hal. 111).
Anas bin Malik RA meriwayatkan bahwa ada seorang
lelaki Anshar yang datang menemui Nabi SAW dan dia meminta sesuatu kepada Nabi
SAW.Nabi SAW bertanya kepadanya, ”Apakah di rumahmu tidak ada sesuatu”? Lelaki itu
menjawab,”Ada. Dua potong kain, yang
satu dikenakan dan yang lain untuk alas duduk, serta cangkir untuk meminum
air.” Nabi SAW berkata,”Kalau begitu, bawalah kedua barang itu
kepadaku.” Lelaki itu datang
membawanya. Nabi SAW bertanya,”Siapa yang mau membeli barang ini?” Salah seorang sahabat beliau menjawab,”Saya
mau membelinya dengan harga satu dirham.” Nabi SAW bertanya lagi,”Ada yang mau membelinya dengan harga
lebih mahal?” Nabi SAW menawarkannya
hingga dua atau tiga kali. Tiba-tiba salah seorang sahabat beliau berkata,”Aku
mau membelinya dengan harga dua dirham.” Maka
Nabi SAW memberikan dua barang itu kepadanya dan beliau mengambil uang dua
dirham itu dan memberikanya kepada lelaki Anshar tersebut. (HR Ahmad,
Abu Dawud, an-Nasa`i, dan at-Tirmidzi) (Abdullah
al-Mushlih & Shalah ash-Shawi, ibid., hal. 111).
Hadits
di atas adalah satu dalil di antara dalil-dalil yang membolehkan jual beli
lelang (bai’ al-muzaayadah).
Sebagian ulama seperti an-Nakha`i memakruhkan jual beli lelang, dengan
dalil hadits dari Sufyan bin Wahab bahwa dia berkata,”Aku mendengar Rasulullah SAW melarang jual beli
lelang.” (sami’tu rasulallah SAW nahaa ‘an bai’ al-muzayadah). (HR
Al-Bazzar). (Imam As-Suyuthi,Al-Jami’
Ash-Shaghir, Juz II/191).
Namun pendapat itu lemah karena dalam isnad hadits ini terdapat perawi
bernama Ibnu Lahi’ah yang dikategorikan sebagai seorang perawi yang lemah (dha`if) (Imam Ash-Shan’ani, Subulus
Salam, Juz III/23; Imam Asy-Syaukani, Nailul
Authar, Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000, hal.
1045).[7]
C. Bai’Munaqosah
1. Pengertian Bai’Munaqosah
Bai’Munaqosah (Tender) adalah suatu proses penyeleksian
yang melibatkan beberapa perusahan yang mana pemenang akan melaukan kerjasama
dengan perusahan tersebut. Contoh ; pemerintah pusat sedang menjalankan proyek
pembangunan gedung DPR baru , pemerintah pusat memerlukan bahan-bahan untuk
pembuatan gedung tersebut . kemudian pemerintah melakukan tender dengan
perusahan-perusahan yang dapat menyediakan barang-barang kebutuhan tersebut .
dalam penyeleksiannya terdapat lima perusahan yang mengikuti tender .kemudain
kelima perusahan tersebut menyerah kan proposal mereka dan menpresentasiakannya
. setelah itu pemerintah akan memilih perusahan yang mana yang akan memenangkan
proses terder tersebut, setelah mempetertimbangkan dengan seksama sesuai
kebutuhan nya.[8]
Bai’Munaqosah
(tender) juga memiliki makna penawaran
yaitu suatu penawaran atau pengajuan oleh pentender untuk memperoleh
persetujuan (acceptance) mengenai alat bayar sah (legal tender), atau jasa guna
melunasi suatu hutang atau kewajiban agar terhindar dari hukuman atau penyitaan
jika tak dilunasi. Dalam kontrak bisnis, tender merupakan suatu penawaran yang
dilakukan oleh pemasok (supplier) atau kontraktor untuk memasok/memborong
barang atau jasa berupa penawaran terbuka (open tender) di mana para peserta
tender dapat bersaing menurunkan harga dengan kualitas yang dikehendaki; atau
berupa penawaran tertutup (sealed tender) di mana penawaran dimasukkan dalam
amplop bermaterai dan dibuka secara serempak pada saat tertentu untuk dipilih
yang terbaik dari aspek harga maupun kualitas dan para peserta dapat menurunkan
harga lagi.
Bai’Munaqosah
(tender) juga sering dipakai untuk
pelaksanaan suatu proyek di mana pemilik proyek melakukan lelang dan calon
peserta/pelaksana proyek mengajukan penawaran atau tender dengan persaingan
harga terendah dan barang/jasa yang sesuai.
Sistem pengadaan barang
dan jasa pada umumnya menggunakan mekanisme penawaran yang terbuka, sesuai
dengan prinsip persaingan sehat. Penawaran tender yang mengesampingkan prinsip
tersebut akan mengakibatkan inefisiensi, tidak efektif, non akuntabilitas serta
tidak tepat sasaran yang dituju. Oleh karena itu, dalam proses tender harus
mengedepankan prinsip keterbukaan, sehingga pelaku usaha memperoleh akses tanpa
diskriminasi atas pelaku usaha tertentu dalam menjalankan sistem perekonomian.
Salah satu aktivitas yang dilarang dalam penawaran tender adalah persekongkolan
penawaran tender.
Larangan persekongkolan
penawaran tender diatur dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.
Ketentuan tersebut mencakup penawaran pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan
perusahaan swasta. Penjelasan Pasal 22 menyatakan, bahwa tender adalah tawaran
mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan dan/atau untuk pengadaan
barang-barang atau penyediaan jasa. Tender ditawarkan oleh pengguna barang dan
jasa kepada pelaku usaha yang memiliki kredibilitas dan kapabilitas berdasarkan
alasan efektivitas dan efisiensi. Adapun alasan-alasan lain pengadaan barang
dan jasa adalah, pertama, memperoleh penawaran terbaik untuk harga dan
kualitas. Kedua, memberi kesempatan yang sama bagi semua pelaku usaha yang
memenuhi persyaratan untuk menawarkan barang dan jasanya. Ketiga, menjamin
transparansi dan akuntabilitas pengguna barang dan jasa kepada publik,
khususnya pengadaan barang/jasa di lembaga atau instansi pemerintah.
Pengertian tender tersebut mencakup tawaran
mengajukan harga untuk:
1.
memborong
atau melaksanakan suatu pekerjaan;
2.
mengadakan
barang dan jasa;
3.
membeli
suatu barang dan jasa
4.
menjual
suatu barang dan jasa
Praktik persekongkolan
telah meluas di kalangan dunia usaha, terutama pelaku usaha yang melakukan
transaksi bisnis dengan pemerintah melalui persekongkolan dalam kegiatan
tender. Praktik tersebut merupakan bagian dari praktik perburuan rente ekonomi
dalam sistem ekonomi politik yang buruk, yang mengakibatkan inefisiensi dan
ekonomi biaya tinggi. Melemahnya ekonomi Indonesia karena hutang dan anggaran
belanja negara yang tidak efisien disebabkan oleh persekongkolan tender dalam
pengadaan barang dan jasa, khususnya barang dan jasa pemerintah. Praktik
persekongkolan dalam kegiatan tender terkait pula dengan praktik kolusi,
korupsi, dan nepotisme (KKN) yang meluas di Indonesia, baik di masa lalu maupun
sekarang.
Mengingat dampak yang
signifikan atas praktik persekongkolan tender, UU Nomor 5 Tahun 1999 secara
tegas menetapkan dua jenis sanksi yang dapat dikenakan terhadap pelaku usaha
yang melanggar ketentuan tersebut, khususnya terhadap ketentuan Pasal 22, Pasal
23, dan Pasal 24, yaitu sanksi administratif dan sanksi pidana, berupa pidana
pokok dan pidana tambahan.
Ketentuan Pasal 47 ayat
(1) UU Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan, bahwa KPPU berwenang untuk menjatuhkan
sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar
ketentuan UU Nomor 5 Tahun 1999. Sedangkan ketentuan ayat (2) menetapkan
bentuk-bentuk tindakan administratif, termasuk pelanggaran terhadap pasal-pasal
tersebut di atas.
Adapun sanksi pidana yang dikenakan
adalah denda antara lima milyar sampai dengan duapuluh lima milyar rupiah, atau
kurungan pengganti denda selama lima bulan. Selanjutnya, sanksi terhadap
pelanggaran ketentuan Pasal 41 UU Nomor 5 Tahun 1999 adalah apabila pelaku
usaha menolak bekerjasama dalam penyelidikan atau pemeriksaan dengan ancaman
pidana denda sebesar satu milyar sampai dengan lima milyar rupiah. Ketentuan
Pasal 49 undang-undang tersebut menyatakan, bahwa pidana pokok tersebut dapat
disertai dengan pidana tambahan berupa pencabutan ijin usaha atau larangan
menduduki jabatan Direksi atau Komisaris sekurang-kurangnya dua tahun, dan
2. Hukum Bai’Munaqosah
Adapun mengenai
tender pada substansinya tidak jauh berbeda ketentuan hukumnya dari lelang
karena sama-sama penawaran suatu barang/jasa untuk mendapatkan harga yang
dikehendaki dengan kondisi barang/jasa sebagaimana diminati. Namun untuk
mencegah adanya penyimpangan syariah dan pelanggaran hak, norma dan etika dalam
praktik lelang maupun tender, syariat Islam memberikan panduan dan kriteria
umum sebagai guide line yaitu di antaranya:
- Transaksi dilakukan oleh pihak yang cakap hukum atas dasar saling sukarela (‘an taradhin)
- objek lelang dan tender harus halal dan bermanfaat,
- kepemilikan penuh pada barang atau jasa yang dijual,
- kejelasan dan transparansi barang/jasa yang dilelang atau dutenderkan tanpa adanya manipulasi seperti window dressing atau lainnya
- kesanggupan penyerahan barang dari penjual,
- Kejelasan dan kepastian harga yang disepakati tanpa berpotensi menimbulkan perselisihan.
- Tidak menggunakan cara yang menjurus kepada kolusi dan suap untuk memangkan tender dan tawaran.
Segala bentuk
rekayasa curang untuk mengeruk keuntungan tidak sah dalam praktik lelang maupun
tender dikategorikan para ulama dalam praktik Najasy (komplotan/trik
kotor tender dan lelang) yang diharamkan Nabi saw. (HR. Bukhari dan Muslim)
atau juga dapat dimasukkan dalam kategori Risywah (sogok) bila penjual
atau pembeli menggunakan uang, fasilitas ataupun service untuk memenangkan
tender ataupun lelang yang sebenranya tidak memenuhi kriteria yang dikehendaki
mitranya bisnisnya.[9]
BAB
III
PENELITIAN
1. Hasil
penelitian di lapangan produk Murabahah
Salah satu skim
fiqih yang paling popular digunakan oleh perbankan syariah atau BMT adalah jual beli murabahah. Transaksi murabahahini lazim digunakan karena
sederhana dan tidak terlalu asing bagi yang sudah terbiasa transaksi dengan
dunia perbankan syariah pada umumnya termasuk BMT Al-Ishlah.Kalangan perbankan
syari’ah di Indonesia banyak menggunakan bai’ murabahah secara berkelanjutan
seperti untuk modal kerja. Pembiayaan murabahah
membantu nasabah untuk mendapat penambahan modal usaha atau pembelian barang.
Dalam pembiayaan ini nasabah juga
dimintai untuk menyerahkan barang jaminan. Untuk mendapatkan pembiayaan nasabah dapat datang langsung ke BMT
Al-Ishlah. Dengan membawa persyaratan :
1)
Menyerahkan
fotocopy KTP suami istri
2)
Fotocopy
kartu keluarga (KK)
3)
Fotocopy
surat nikah.
4)
Menyerahan
barang jaminan.
5)
Menyerahakan
rekening listrik/ telpon
6)
Amanah
dan bertanggung jawab
7)
Fotocopy
slip gaji bagi pegawai / karyawan
8)
Bersedia
disurvey
9)
dll
Anggota yang telah
memenuhi persyaratan dandisurvey oleh pengelola/manajer,
selanjutnya membicarakan barang pesanan yang dibutuhkan oleh nasabah.
Setelah itu BMT dan nasabah bernegosiasi dalam penentuan keuntungan.
Setelah ada kesepakatan antara BMT dan nasabah, maka dibuat akad pembiayaan murabahah.
Dalam akad memberitahukan harga
barang yang dibeli dan besarnya margin /keuntungan untuk BMT.
Untuk menjaga agar pemesan atau nasabah
tidak main-main dengan pesanan maka diperbolehkan meminta jaminan. Si pembeli
(BMT/penyedia pembiayaan) dapat meminta nasabah
suatu jaminan (rahn) untuk dipegangnya untuk pembayaran hutang.
Jenis-jenis Murabahah untuk nasabah/pemesan:
1)
BMT
mengangkat nasabah sebagai wakil yang diberi kuasa untuk melakukan pembelian
barang atas nama BMT dan melakukan akad wakalah. Masa tenggang untuk pembelian
barang selama 3 hari lalu datang k BMT untuk di akadkan. Setelah nasabah
melakukan pembeliaan dan di serahkan kepada pihak BMT dan melakukan akad
murabahah dengan jumlah harga beli di tambah keuntungan kepada BMT.
2)
BMT
melakukan pembelian setelah ada pemesanan dari nasabah. Pihak BMT bertindak sebagi penjual, sementar nasabah
sebagai pembeli. BMT menyebutkan harga asal barang dengan tambahan keuntungan
bagi BMT yang telah di sepakati.
2. Muzayadah
(lelang)
Berdasarkan hasil
penelitian lapangan yang penulis lakukan melalui wawancara kepada informan,
maka diperoleh keterangan tentang sejumlah kasus praktik lelang barang jaminan
pada Perum Pegadaian Syariah Cabang Kebun Bunga Banjarmasin, yaitu praktik
lelang emas. Alasan dilakukan Praktik lelang emas karena barang jaminan
perhiasan emas dari segi jumlah lebih cepat terkumpul dari UPC Syariah lain dan
proses penjualan lelang juga tidak lama :
1. Kasus 1
a. Pihak Penjual
Nama: AH
Umur: 24
Pendidikan : S1
Pekerjaan: Staf Administrasi pada bagian
Penaksir
Alamat: Jl. Dahlia komp. Kebun Sayur
Banjarmasin.
b. Pembeli
Nama: SH
Umur: 35
Pendidikan: SMP Sederajat
Pekerjaan: Pedagang Emas
Alamat: Jl. Pekapuran Raya.
c. Uraian Kasus
Pada tanggal 28
April 2015 AH telah dilakukan lelang barang gadai yang telah jatuh tempo,
barang yang dilelang sebelumnya sudah diberitahukan kepada nasabah bahwa barang
jaminannya dilelang. Jumlah pinjaman nasabah yang jatuh lelang adalah sebesar
Rp. 1,750,000,-.
Sebelum melakukan
lelang AH terlebih dahulu melakukan pemisahan barang yang dilelang dan
melakukan taksir ulang serta menghitung limit lelang. Kemudian AH pergi ke
pasar membawa barang jaminan berupa emas 22 karat dengan berat 5 gram, setiba
di pasar AH langsung menuju toko emas yang inginmembeli barang tersebut.
AH menyerahkan emas
dan memberitahukan harga taksiran yaitu senilai Rp. 2,208,978,- kepada pihak
toko. SH kemudian melakukan uji kualitas emas dengan melakukan pembakaran untuk
mengetahui perubahan warna dan melakukan penimbangan untuk mengetahui berat
emas, kemudian menentukan harga beli. Setelah diketahui kualitas emas dan
beratnya SH membeli seharga Rp. 2,205,600,-. Karena emas mengalami perubahan
warna seperti merah-merah sehingga harga jual menurun.Pihak pegadaian melakukan
negosiasi dengan mencocokkan harga taksiran penjualan. Setelah diketahui
selisih harganya yaitu Rp. 3,378,- pihak pegadaian menjual barang tersebut.
Meskipun harga beli yang ditawarkan oleh SH tidak mendekati harga
taksiran,namun pihak pegadaian tetap menjual barang itukarena beralasan hasil
dari penjualan barang tersebut masih mampu menutupi kerugian dari pinjaman
nasabah yang tidak dibayar.
SH adalah seorang
penjual emas yang memiliki toko emas di Pasar Sentra Antasari, toko tersebut
terbilang cukup besar dari sekian banyak penjual emas yang lainnnya. Lokasi
toko yang strategis dan menjual banyak jenis perhiasan yaitu berbagai jenis
emas, membuat toko ini selalu ramai diminati oleh pembeli.
Toko ini berdiri
kurang lebih sudah 15 tahun dan sudah mampu membuka toko cabang emas
lainnya.Toko emas SH ini tidak hanya menjual emas saja, namun juga bisa
melayani pembelian atau tukar tambah bagi orang yang ingin menjual perhiasan
kepada toko tersebut.Toko ini tidak mengetahui dengan praktik lelang, karena SH
beralasan bahwa itu jual beli biasa, SH sering membeli emas dari pihak
pegadaian menurut dia untung, selain dapat membeli harga yang murah, emas yang
di tawarkan kualitasnya juga bagus.
2. Kasus 2
a. Pihak Penjual
Nama: HB
Umur: 30
Pendidikan : S1
Pekerjaan: Staf Administrasi pada bagian
Penaksir
Alamat: Jl. Sulawesi Banjarmasin Timur
b. Pembeli
Nama: HM
Umur: 40
Pendidikan: SMP Sederajat
Pekerjaan: Pedagang Emas
Alamat: Jl. Pekapuran
c. Uraian kasus
Pada tanggal 28
April 2015 HB telah dilakukan lelang barang gadai yang jatuh tempo, barang yang
dilelang sebelumnya sudah diberitahukan kepada nasabah bahwa barang jaminannya
dilelang. Jumlah uang pinjaman nasabah yang telah jatuh tempo adalah sebesar
Rp. 1,160,214,-. Sebelum melakukan lelang HB terlebih dahulu melakukan
pemisahan barang yang dilelang dan melakukan taksir ulang serta menghitung
limit lelang. Kemudian HB pergi ke pasar membawa barang jaminan berupa emas 21
karat dengan berat 3 gram, setiba di pasar HB berkeliling menawarkan emas
tersebut dari satu toko ke toko lainnya dengan mencocokkan harga taksiran
penjualan yaitu senilai Rp .1,300,254,- .Toko pertama melakukan uji kualitas
emas dengan melakukan pembakaran untuk mengetahui perubahan warna emas dan juga
melakukan timbangan, setelah diketahui kualitas dan berat emas toko ini menawar
dengan harga Rp. 1,282,103.
HB menghitung
selisih harga taksiran dengan harga penawaran pembeli ternyata sangat jauh
selisihnya, HB memutuskan untuk tidak menjualnya dan kemudian berpindah
menawarkan ke toko lain, setiap toko juga melakukan uji kualitas emas dengan
melakukan pembakaran untuk mengetahui perubahan warna dan melakukan penimbangan
untuk mengetahui berat emas dan kemudian menentukan harga beli. Dari sekian
banyak toko yang ditawarkan hanya satu toko yaitu HM yang menawar dengan harga
beli senilai Rp. 1,301,280,- setelah HB menghitung selisih harga taksiran
dengan harga beli yaitu selisihnya sebesar Rp. 1,026,- maka HB memutuskan untuk
menjual barang tersebut. Alasan HB memutuskan untuk menjual karena harga yang
ditawarkan senilai dengan harga taksiran walaupuntidak banyak menguntungkan
yang penting hasil penjualan ini bisa menutupi kerugian dari uang pinjaman
nasabah tersebut.
Toko HM tidak
terlalu besar namun cukup ramai diminati oleh pembeli.Toko ini menjual semua
jenis emas, toko emas HM ini tidak hanya menjual emas saja, namun juga bisa
melayani pembelian atau tukar tambah bagi orang yang ingin menjual perhiasan
kepada toko tersebut. HM tidak mengetahui bahwa barang emas yang di jual oleh
pegadaian tersebut dikatakan lelang, dia beranggapan bahwa itu hanya jual beli
biasa dan juga tidak mengetahui bagaimana cara pelelangan pegadaian. HM
mengatakan bahwa dia tidak sering melakukan pembelian emas yang ditawarkan oleh
pihak pegadaian, karena HM tertarik membeli melihat dari kualitas emas yang
ditawarkan oleh pihak pegadaian.
3. Munaqashah
(tender)
Penelitian tentang
”Sanksi dalam Perkara Persekongkolan Tender Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat” merupakan
suatu penelitian yuridis-normatif. Sebagai suatu penelitian yuridis normatif,
maka penelitian ini berbasis pada analisis norma hukum, baik
hukum dalam arti law as it is written in the books (dalam
peraturan perundang-undangan), maupun hukum dalam arti law as it is decided
by judge through judicial process (putusan-putusan lembaga yudisial).
Dengan demikian obyek yang dianalisis adalah norma hukum, baik dalam peraturan
perundang-undangan yang secara konkrit ditetapkan oleh hakim, maupun Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam perkara-perkara yang diputuskan di lembaga pengawas tersebut.
Pemahaman yang mendalam mengenai norma-norma
serta pengaturan tentang persaingan usaha yang sehat dikaji dengan mendasarkan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Larangan persekongkolan secara khusus diatur
dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 24 undang-undang tersebut. Undang-undang ini
juga secara implisit menyiratkan tentang metode pendekatan hukum yang digunakan
oleh KPPU untuk menyelidiki kasus-kasus pelanggaran terhadap ketentuan hukum
persaingan. Guna melengkapi kajian yuridis terhadap kasus yang terjadi di
lapangan, ditinjau pula peraturan pelaksanaan yang lain di bidang hukum
persaingan, antara lain adalah Keppres Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang dan atau Jasa Pemerintah beserta ke-empat
amandemen-amandemennya, dan Pedoman Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999.
Penelitian
ini menggunakan beberapa batasan istilah yang terkait dengan persekongkolan
dalam tender, yakni sebagai berikut:
1) Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan
hokum, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan
berbagai kegiatan usaha ekonomi.
2) Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar
pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang, dan
atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau
menghambat persaingan usaha.
3) Persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk
kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan
maksud untuk menguasai pasar yang bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha
yang bersekongkol. Konsep persekongkolan selalu melibatkan dua pihak atau lebih
untuk melakukan kerjasama. Pembentuk UU memberi tujuan persekongkolan secara
limitatif, yaitu untuk menguasai pasar bagi kepentingan pihak-pihak yang
bersekongkol.
4)
Pasar
bersangkutan adalah pasar yang terkait dengan jangkauan atau daerah pemasaran
tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis
atau substitusi dari barang, dan atau jasa tersebut. Penguasaan pasar merupakan perbuatan yang diantisipasi
dalam persekongkolan, termasuk dalam kegiatan tender.
5)
Persekongkolan
dalam kegiatan tender menurut pengertian di beberapa Negara merupakan
perjanjian beberapa pihak untuk memenangkan pesaing dalam suatu kegiatan
tender.
6)
Tender
adalah tawaran untuk mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk
mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan untuk memborong atau melaksanakan suatu pekerjaan,
mengadakan barang dan atau jasa, mmebeli suatu barang dan atau jasa, menjual
suatu barang dan atau jasa.
7) Barang adalah setiap benda, baik berujud maupun tidak
berujud, baik bergerak maupun tidak bergerak yang dapat diperdagangkan,
dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. Sedangkan barang tidak berujud diartikan sebagai
jasa.
8) Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan
atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh
konsumen atau pelaku usaha.
BAB
IV
ANALISIS
1. Penerapan
akad Murabahah di BMT Al-Ishlah
Akad Murabahah BMT Al-Ishlah pada
praktiknya sudah sesuai dengan hukum
islam nya. Ini terbukti bahwa pembiayaanmurabahah dilakukan dengan akad jual beli dengan
beberapa ketentuan dankesepakatan yang berlaku antara nasabah dan pihak BMT.
Misalnya dalampenentuan margin keuntungan pada hal ini antara nasabah
dan BMT salingsepakat.
Dalam teorinya menggunakan akad murabahah sesuai
dengan ajaran syariah Islam yaitu tidak boleh mengandung unsur-unsuryang
dilarang Islam seperti riba. Namun
disamping itu dalam praktik di BMT Al-Ishlah belum 100% sempurna dalam
menerapkan kaidah-kaidah yang berlakudalam akad murabahah, misalnya
dalam pembelian barang yang seharusnya pihak BMT yang seharusnya menyediakan
barang yang dibutuhkan oleh nasabah, kemudian nasabah membayar atas barang tersebut
dengan cara mengangsur. Namun disini BMT sering mewakilkan pembelian barang
tersebut kepada nasabah itu sendiri dengan tujuan untuk mempermudah dalam
proses pemberian pembiayaan. namun hal resebut masih bisa dimaklumi dalam
artian masih berjalan dalam koridor yang tidak menyimpang.
Dasar hukum yang dijadikan sebagai landasan murabahah
adalah merujuk pada dasar hukum jual-beli :
وَأَحَلَّ
اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: "..DanAllahmenghalalkanjualbeli
dan mengharamkan riba" (QS. Al-Baqarah:275).
Produk ini di Indonesia didasarkan atas Fatwa Dewan Syariah Nasonal Majelis Ulama
Indonesia No.04/DSN-MUI/IV/2000, tentang murabahahyaitu menjual
suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli
membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba
Secara teknis, akad bai’ al-murabahah tersebut
terlaksana dengan kedatangan nasabah ke BMT
dan mengajukan permohonan Pembiayaan
al-Murabahah untuk pembelian suatu barang dan menyatakan
kesanggupan untuk membeli barang tersebut. Setelah melihat kelayakan nasabah
untuk menerima fasilitas pembiayaan tersebut, maka bank menyetujui
permohonannya. BMT kemudian membelikan
atau menunjuk nasabah sebagai agen BMT untuk membeli barang yang diperlukannya
atas nama bank dan menyelesaikan pembayaran harga barang dari biaya bank. BMT
seketika itu juga menjual barang tersebut kepada nasabah pada tingkat harga
yang disetujui bersama (yang terdiri dari harga pembelian ditambah mark-up
atau margin keuntungan) untuk dibayar dalam jangka waktu yang telah disetujui
bersama. Dan pada waktu jatuh tempo, nasabah membayar harga jual barang yang
telah disetujui tersebut kepada BMT.
Oleh karena itu, produk-produk pendanaan dan pembiayaan
padalembaga keuangan syariah harus menghindari unsur-unsur yang dilarang
olehIslam. Seperti pada BMT Al-Ishlah
dalam salah satu produk pembiayaan yang menggunakan prinsip jual beli (murabahah)
dalampraktiknya sudah sesuai menurut syariah.
Pelaksanaan akad murabahah BMT Al-Ishlah juga telah
memenuhi rukun dan syarat dari prinsip murabahah, karena hal tersebut
akan menentukan sah atau tidaknya akad. Seperti yang sudah disampaikan, rukun
adalah unsur yang mutlak harus ada dalam suatu hal atau tindakan. Dalam akad murabahah
rukun yang harus dipenuhidi antaranya:
- Penjual (al-bai’) dianalogkan sebagai BMT;
- Pembeli (al-musytari) dianalogkan sebagai nasabah;
- Barang yang akan diperjual belikan (al-mabi’), yaitu jenis barang pembiayaan;
- Harga (al-saman) dianalogkan sebagai pricing atau plafond pembiayaan;
- Ijab dan qabul dianalogkan sebagai akad atau perjanjian, yaitu pernyataan persetujuan yang dituangkan dalam akad perjanjian.
Dalam akad murabahah pada BMT Al-Ishlah telah memenuhi semua rukun tersebut. Begitu
juga dengan syarat-syarat juga telah terpenuhi dalam akad murabahah pada
BMT Al-Ishlah.
2.
Penerapan Bai’
Muzayaadah (lelang)
Dari uraian kasus
di atas tentang praktik lelang barang jaminan, jelaslah bahwa pada semua kasus
pihak pegadaian sebagai penjual merasa puas dengan harga emas yang ditetapkan
oleh pembeli, karena meyakini bahwa harga beli yang di tawarkan tersebut mampu menutupi
kerugian dari hasil uang pinjaman nasabah yang belum dibayar meskipun
keuntungan yang didapat tidak maksimal bahkan pihak pegadaian terkadang harus
menanggung rugi atas barang jaminan tersebut apabila harga beli tidak ada
kesepakatan oleh pembeli. Dalam hal ini bagaimana tinjauan ekonomi islam.
Penulis menganalisis masalah ini sebagai berikut:
Sebagaimana kita ketahui bahwa jual beli
merupakan salah satu sikap bermuamalah dalam kehidupan antara yang satu dengan
yang lainnya. Jual beli itu sendiri merupakan persetujuan saling mengikat
antara pihak yang penjual sebagai pihak yang menyerahkan barang dan pihak
pembeli sebagai pihak yang membeli barang.
Secara hukum Islam,
jual beli adalah sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat. Rukun jual beli
ada tiga, yaitu akad (ijab kabul), orang-orang yang berakad (penjual dan
pembeli), dan ma’kud alaih (objek akad).
1.
akad
ialah ikatan antara kata antara penjual dan pembeli. Jual beli belum dikatakan
sah sebelum ijab dan kabul dilakukan sebab ijab kabul menunjukkan kerelaan
(keridhaan). Syarat-syarat sah ijab kabul ialah Jangan ada yang memisahkan,
pembeli jangan diam saja setelah penjual menyatakan ijab dan sebaliknya. Serta
jangan diselingi dengan kata-kata lain antara ijab dan kabul.Beragama Islam,
syarat ini khusus untuk pembeli saja dalam benda-benda tertentu.
2.
penjual
dan pembeli.Syarat bagi penjual dan pembeli yaitu, syarat kewenangan wilayah
dan syarat kecakapan. Pengertian kecakapan disini ialah dalam hal bertindak
hukum secara sempurna. Diantara memiliki kecakapan bertindak hukum secara
sempurna adalah ketika mencapai aqil dan baligh
3.
syarat-syarat
yang terkait dengan barang yang diperjualbelikan (Ma’kud alaih) sebagai
berikut:
a. Barang itu ada atau tidak ada di tempat, tetapi pihak penjual
menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu.
b. Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia. Oleh sebab itu,
bangkai, khamar, dan darah tidak sah menjadi objek jual beli.
c. Milik seseorang. Barang yang sifatnya
belum dimiliki seseorang tidak boleh diperjualbelikan.
d. Boleh diserahkan saat akad berlangsung
atau pada waktu yang disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.
Berdasarkan rukun
dan syarat tersebut, maka pada semua kasus telah terpenuhi semua rukun dan
syarat tersebut. Dengan demikian, jual beli yang dilakukan dalam praktik lelang
barang jaminan adalah sah. Apalagi jika dilihat dari segi akibatnya, pihak
pegadaian sebagai penjual merasa rela dengan harga yang ditetapkan. Dalam Islam
melakukan transaksi jual beli juga harus diperhatikan unsur kerelaan dari kedua
belah pihak serta dengan cara yang baik dan benar. Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam Q.S. An-Nisa/4:29.
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman!
Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak
benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka
diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh Allah Maha Penyayang
kepadamu.
Dilihat dari segi
proses negosiasi yang dilakukan jelaslah bahwa semua kasus praktik lelang
barang jaminan tersebut tidak bertentangan dengan jual beli yang dilarang,
karena tidak ada unsur tipuan dalam penentuan harga dan kerugian yang dialami
bukan ada unsur kesengajaan,melainkan karena dilihat dari hasil uji kualitas
emas yang dibakar berubah warna menjadi seperti kemerah-merahan yang
mempengaruhi berat timbangan emas tersebut menjadi turun sehingga harga jual
merugi. Mengenai keuntungan yang didapat oleh pegadaian pada prinsipnya
merupakan perkara yang jaiz (boleh) yaitu berupa keuntungan telah ditetapkan
penjual barang itu, kelebihan barang setelah dijual menurut harga yang telah
ditentukan oleh pemilik barang tersebut. Besarnya keuntungan yang didapat yang
penting tidak mengandung keharaman dan kedzaliman dalam pencapainya yang
demikian dibenarkan. Hal ini jelaslah praktik lelang ini tidak termasuk jual
beli yang dilarang, jual beli yang dilarang oleh agama antara lain: jual beli gharar,
yaitu jual beli yang samar sehingga ada kemungkinan terjadi penipuan. Membeli
barang dengan harga yang lebih mahal daripada harga pasar, sedangkan dia tidak
menginginkan barang itu, tetapi semata-mata supaya orang lain tidak dapat
membeli barang itu. Membeli barang yang sudah dibeli orang lain yang masih
dalam masa khiyar.
Penjualan barang
gadai setelah jatuh tempo adalah sah. Hal itu, sesuai dengan maksud dari
pengertian hakikat gadai itu sendiri, yaitu sebagai kepercayaan dari suatu
utang untuk dipenuhi harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar
utangnya dari orang yang berpiutang. Karena itu, barang gadai dapat dijual
untuk membayar utang, dengan cara mewakilkan penjualannya kepada orang yang
adil dan terpercaya. Gadai hukumnya jaiz (boleh), Allah berfirman dalam Q.S.
Al-Baqarah/2:283:
Artinya: Dan jika kamu dalam perjalanan
sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang
jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang
lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan
hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan
kesaksian, karena barang siapa menyembunyikannya, sungguh hatinya kotor
(berdosa). Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.95 Gadai atau pinjaman dengan jaminan suatu
benda memiliki beberapa rukun, antara lain:
a. Kalimat akad (lafadz), seperti “Saya
rungguhkan ini kepada engkau untuk utangku yang sekian kepada engkau”. Jawab
dari yang berpiutang: “Saya terima rungguhan ini”.
b. Yang merungguhkan dan yang menerima
rungguhan; disyaratkan keduanya ahli (berhak membelanjakan hartanya).
c. Barang yang dirungguhkan.
d. Ada utang disyaratkan keadaan utang telah
tetap.
Adapun syarat-syarat gadai adalah baligh dan
berakal, sighat, utang itu boleh dilunasi dengan jaminan, utang itu jelas dan
tertentu, dan barang jaminan itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan
utang.
Dalam masalah gadai perlu diperhatikan
statusnya. Dalam kaitan ini statusnya tetap gadai karena:
a. Telah diterima barangnya oleh yang
menerima gadaian dan uang oleh yang menggadaikan.
b. Barang gadaian berada pada orang yang
menerima gadaian sebagai amanat. Bila barang itu hilang, wajib diganti.
c. Orang yang menerima gadaian, berhak
menegur yang menggadaikan bila waktunya sudah habis, atau menjual barang
gadaiannya.
d. Biaya pemeliharaan barang yang digadaikan
adalah kewajiban yang menggadaikan.
Lelang barang jaminan pada Perum Pegadaian
Syariah Cabang Kebun Bunga Banjarmasin ini berlaku bagi barang jaminan nasabah
yang telah jatuh tempo.Akan tetapi nasabah tidak melunasi dan tidak ingin
melakukan perpanjangan waktu.
Jual beli dengan
cara lelang merupakan upaya pihak pegadaian untuk menutupi kerugian uang
pinjaman nasabah yang tidak di bayar cicilan perbulan. Sebelum lelang di
laksanakan pihak pegadaian terlebih dahulu telah memberitahukan kepada nasabah
yang bersangkutan melalui telepon maupun surat, apabila nasabah tidak
menanggapi pemberitahuan itu maka pihak pegadaian akan melakukan lelang.Dalam
proses pelaksanaan lelang terlebih dahulu barang yang akan di lelang dipisahkan
dan di taksir ulang serta di tentukan limit lelang.
Adapun proses pelelangan barang jaminan
adalah sebagai berikut:
a. Satu minggu sebelum pelelangan,
diberitahukan kepada nasabah yang barangnya akan dilelang.
b. Ditetapkan harga emas oleh Pegadaian pada
saat pelelangan, dengan margin 2 % untuk pembeli.
c. Harga penawaran yang naik oleh banyak
orang tidak dibolehkan, sehingga memungkinkan nasabah merugi dikarenakan
dikuatirkan pembeli bersepakat untuk menurunkan harga pelelangan. Oleh karena
itu, pihak Pegadaian melakukan pelelangan terbatas, hanya memilih beberapa
pembeli (3-4).
d. Hasil pelelangan akan digunakan untuk
biaya penjualan 1 % dari harga jual, biaya pinjaman 4 bulan, dan sisanya
dikembalikan ke nasabah.
e. Sisa kelebihan yang tidak diambil selama 1
tahun, dikembalikan kepada baitul maal yang terakreditasi.
Apabila barang yang digadaikan tidak laku
dilelang maka barang tersebut akan dilelang pada periode berikutnya atau bisa
dibeli oleh pegadain sendiri dan kerugian yang timbul ditanggung oleh Perum
Pegadaian.
Pada kasus satu,
barang jaminan yang dilelang oleh pegadaian mengalami kerugian yang disebabkan
oleh hasil uji kualitas emas rendah yang mana emas tersebut mengalami perubahan
warna seperti kemerah-merahan. Sehingga juga berpengaruh terhadap harga jual
emas tersebut. Pihak Pegadaian tetap menjual karena beranggapan bahwa hasil
penjualan lelang itu masih mampu menutupi kerugian dari pinjaman nasabah yang
tidak dibayar.
Pada kasus dua, penjualan dari hasil lelang
Pihak Pegadaian mengalami untung, meskipun keuntungan yang didapat tidak
terlalu besar. Barang jaminan yang dilelang tersebut tidak mengalami perubahan
warna, hal ini menandakan bahwa kualitas emas yang dijual bagus, sehingga
pembeli berani menawar dengan harga yang lebih tinggi.
Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa pada semua kasus, hukum jual belinya adalah sah karena
telah terpenuhi rukun dan syaratnya.Rukun jual beli adalah orang yang berakad,
barang yang diakadkan, dan sighat. Syarat yang berakad : berakal, dengan
kehendak sendiri, keduanya tidak mubazir, dan baligh. Syarat yang diakadkanbersih
barangnya, dapat di manfaatkan, milik orang yang melakukan akad, mampu
menyerahkannya, barang itu diketahui oleh si penjual dan si pembeli dengan
terang zatnya, bentuk kadar (ukuran) dan sifatnya, dan barang yang di akadkan
ada di tangan. Syarat sighat adalah keadaaan ijab dan kabul berhubungan, adanya
kemufakatan keduanya walaupun lafaz keduanya berlainan, keadaan keduanya tidak
di sangkutpautkan dengan urusan lain, dan waktunya tidak dibatasi, sebab jual
beli berwaktu seperti sebulan atau setahun tidak sah.
Dalam tinjauan
ekonomi Islam praktik lelang barang jaminan ini tidak ada larangan secara
syariah, namun secara maslahah mursalah akan kurang menguntungkan bagi pihak
pegadaian, karena kemungkinan harga beli kurang optimal oleh pembeli barang
gadai yang dijual tersebut karena keterbatasan pembeli dan juga kadang
menimbulkan kerugian apabila barang jaminan itu tidak laku dijual maka pihak
pegadaian sendiri membelinya.Seharusnya lelang yang dilakukan oleh pegadaian
syariah dengan sistem terbuka, sehingga hukum permintaan dan penawaran terjadi
secara wajar yang memungkinkan pihak pegadaian mendapatkan harga pasar yang
optimal.
3.
Penerapan Bai
Munaqashah (tender)
1)
Pembuktian Unsur-unsur
dalam Persekongkolan Tender
Dalam memutuskan perkara
persekongkolan tender, KPPU menggunakan dasar hukum Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun
1999. Berdasarkan Pasal 22 tersebut, dapat dikatakan bahwa ketentuan tentang
persekongkolan tender terdiri atas beberapa unsur, yakni unsur pelaku
usaha, bersekongkol, adanya pihak lain, mengatur dan menentukan pemenang
tender, serta persaingan usaha tidak sehat. Istilah “pelaku usaha” diatur dalam Pasal 1 angka 5 UU
Nomor 5 Tahun 1999. Adapun istilah “bersekongkol” diartikan sebagai kerjasama
yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pihak lain atas inisiatif siapapun dan
dengan cara apapun dalam upaya memenangkan peserta tender tertentu. Di samping itu, unsur “bersekongkol” dapat pula
berupa:
1.
kerjasama
antara dua pihak atau lebih;
2. secara terang-terangan maupun diam-diam melakukan tindakan
penyesuaian dokumen dengan peserta lainnya;
3. membandingkan dokumen tender sebelum penyerahan;
4. menciptakan persaingan semu;
5.
menyetujui
dan atau memfasilitasi terjadinya persekongkolan;
6.
tidak
menolak melakukan suatu tindakan meskipun mengetahui atau sepatutnya mengetahui
bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenangkan
peserta tender tertentu;
7.
pemberian
kesempatan eksklusif oleh penyelenggara tender atau pihak terkait secara
langsung maupun tidak langsung kepada pelaku usaha yang mengikuti tender,
dengan cara melawan hukum.
Kerjasama
antara dua pihak atau lebih dengan diam-diam biasanya dilakukan secara lisan,
sehingga membutuhkan pengalaman dari lembaga pengawas persaingan guna
membuktikan adanya kesepakatan yang dilakukan secara diam-diam. Dalam penawaran
tender yang dikuasai oleh kartel akan semakin mempersulit upaya penyelidikan
ini, kecuali terdapat anggota yang “berkhianat” membongkar adanya
persekongkolan tersebut.
Adanya
unsur “pihak lain” menunjukkan bahwa persekongkolan selalu melibatkan lebih
dari satu pelaku usaha. Pengertian pihak lain dalam hal ini meliputi para pihak
yang terlibat, baik secara horisontal maupun vertikal
dalam proses penawaran tender. Pola pertama adalah persekongkolan horisontal,
yakni tindakan kerjasama yang dilakukan oleh para penawar tender, misalnya
mengupayakan agar salah satu pihak ditentukan sebagai pemenang dengan cara
bertukar informasi harga serta menaikkan atau menurunkan harga penawaran. Dalam
kerjasama semacam ini, pihak yang kalah diperjanjikan akan mendapatkan sub
kontraktor dari pihak yang menang. Namun demikian, KPPU kadangkala menemukan
unsur “pihak lain” yang bukan merupakan pihak yang terkait langsung dalam
proses penawaran tender, seperti pemasok atau distributor barang dan atau jasa
bersangkutan.
Berikut adalah contoh persekongkolan horisontal dalam
kasus yang melibatkan beberapa perusahaan yang beroperasi di bidang pengadaan
jasa konstruksi minyak bumi. Perkara ini berawal dari penawaran tender
pengadaan pipa casing dan tubing yang dilakukan oleh perusahaan
tersebut dengan menetapkan persyaratan baru, sehingga tidak semua peserta
tender yang biasanya dapat ikut serta dalam penawaran memenuhi persyaratan.
Persyaratan tersebut
antara lain mengharuskan para penawar (bidders) memiliki semua items,
yang terdiri dari high grade dan low grade, padahal tidak semua
penawar memiliki kedua fasilitas tersebut, sehingga penawar yang memenuhi
persyaratan hanya mengarah pada dua perusahaan besar, meskipun pada akhirnya
salah satu dari kedua perusahaan mengundurkan diri sebagai penawar. Berkaitan
dengan hal ini, perusahaan minyak bumi sebagai pelaksana tender (PT-CPI)
mengemukakan alasan, bahwa persyaratan itu merupakan kebijakan untuk melakukan
efisiensi secara menyeluruh, guna menekan tingkat persediaan (inventory
level), biaya pengadaan (procurement cost), dan lamanya pengadaan (cycle
time) barang.
Proses penawaran tersebut tetap
dilaksanakan, karena pihak yang tidak memiliki fasilitas lengkap tetap dapat
melakukan penawaran dengan persyaratan, bahwa mereka harus mendapatkan supporting
letter dari perusahaan yang memenuhi persyaratan lengkap. Namun adanya
persyaratan ini dimanfaatkan oleh mereka untuk melakukan kerjasama, dengan cara
melakukan pertemuan rahasia dengan agenda saling bertukar informasi, yakni di
satu sisi penawar harus menunjukkan harga penawaran agar mendapatkan supporting
letter dari penawar yang memiliki fasilitas lengkap. Tindakan ini
bertentangan dengan Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, yakni ketentuan
tentang persekongkolan, sehingga KPPU memerintahkan PT-CPI untuk menghentikan
kegiatan tersebut.
Pola yang kedua adalah
persekongkolan tender secara vertikal, artinya bahwa kerjasama tersebut
dilakukan antara penawar dengan panitia pelaksana tender. Dalam hal ini,
biasanya panitia memberikan berbagai kemudahan atas persyaratan-persyaratan bagi seorang penawar,
sehingga dia dapat memenangkan penawaran tersebut. Kasus seperti ini pernah
terjadi dalam perkara penawaran tender pengadaan sapi bakalan kereman yang
dilaksanakan Dinas Peternakan Pemerintah Propinsi Jawa Timur. Perkara mengenai
pengadaan sapi bakalan kereman impor yang melibatkan Koperasi Pribumi Indonesia
(KOPI), didasarkan pada Putusan Nomor 7/KPPU-LI/2001 adalah bermula dari
pengumuman tender secara terbuka di berbagai media massa oleh panitia
penyelenggara. Sejak awal pendaftaran sampai diputuskannya pemenang tender,
panitia telah mengisyaratkan bahwa proyek tersebut dimenangkan oleh KOPI.
Rekayasa tersebut terlihat dari beberapa cara, antara lain membolehkan KOPI
mengikuti pelelangan meskipun tidak memiliki Tanda Daftar Rekanan (TDR), tidak
memenuhi persyaratan administratif maupun syarat lainnya, seperti pengalaman
impor sapi dari Australia, dan keterlambatan kehadiran KOPI pada saat
berlangsungnya penawaran. Meskipun tidak memenuhi persyaratan tersebut, KOPI
bersama-sama dengan Pejabat Dinas Peternakan dan beberapa anggota DPRD
melakukan perjalanan ke Australia, untuk melakukan survey atas kondisi sapi
yang akan diimpor ke Indonesia. Pada akhirnya, panitia menunjuk KOPI sebagai
pelaksana dari proyek pengadaan sapi impor tersebut, meskipun koperasi tersebut
tidak memenuhi persyaratan RKS (Rencana Kerja dan Syarat-syarat) pada penawaran
lelang terdahulu, seperti pemilikan kandang berkapasitas 5000 ekor sapi,
pengalaman impor sapi dan sebagainya. Penunjukan ini dilakukan hanya
berdasarkan rapat di antara panitia lelang, Satuan Petugas (Satgas), dan Kepala
Dinas Peternakan. Mereka melakukan penunjukan langsung melalui Negosiasi Harga
dan Teknis, yang isinya antara lain mengesampingkan persyaratan administrasi
maupun teknis. Semua fakta yang disertai dengan bukti-bukti yang mendukung di
atas mengarah pada terjadinya persekongkolan yang didasarkan Pasal 22
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Pola ketiga
adalah persekongkolan horisontal dan vertikal, yakni persekongkolan
antara panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau
pemilik atau pemberi pekerjaan dengan pelaku usaha atau penyedia barang dan
jasa. Persekongkolan ini dapat melibatkan dua atau tiga pihak yang terkait
dalam proses tender, misalnya tender fiktif yang melibatkan panitia, pemberi
pekerjaan, dan pelaku usaha yang melakukan penawaran secara tertutup. Sebagai contoh jenis tender ini adalah Tender
Proyek Multi Years di Riau. Dugaan bermula dari adanya penawaran tender proyek
multi years yang terdiri dari 9 paket
pekerjaan, oleh Pemerintah di Bidang Prasarana Jalan Propinsi Riau dengan dana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2004. Panitia memfasilitasi bidder tertentu dengan cara mengundurkan
waktu pengembalian dokumen penawaran, serta memfasilitasi para bidder lainnya
untuk melakukan kerja sama semu dengan cara mengundurkan waktu pengembalian
dokumen prakualifikasi. Atas beberapa kegiatan yang dilakukan panitia
tender, pejabat yang bersangkutan dengan beberapa bidder dikenakan Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999.
Unsur Pasal 22
selanjutnya adalah “mengatur dan atau menentukan pemenang tender”. Unsur ini
diartikan sebagai suatu perbuatan para pihak yang terlibat dalam proses tender
secara bersekongkol, yang bertujuan untuk menyingkirkan pelaku usaha lain
sebagai pesaingnya dan/atau untuk memenangkan peserta tender tertentu dengan
berbagai cara. Pengaturan dan/atau penentuan pemenang tender tersebut meliputi,
antara lain menetapkan kriteria pemenang, persyaratan teknik, keuangan,
spesifikasi, proses tender, dan sebagainya. Pengaturan dan penentuan pemenang
tender dapat dilakukan secara horisontal maupun vertikal, artinya baik
dilakukan oleh para pelaku usaha atau panitia pelaksana.
Unsur yang terakhir dari
ketentuan tentang persekongkolan adalah terjadinya “persaingan usaha tidak
sehat” Unsur ini menunjukkan,
bahwa persekongkolan menggunakan pendekatan rule of reason, karena dapat
dilihat dari kalimat “…sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha
tidak sehat”. Pendekatan rule of reason merupakan suatu pendekatan hukum
yang digunakan lembaga pengawas persaingan untuk mempertimbangkan faktor-faktor
kompetitif dan menetapkan layak atau tidaknya suatu hambatan perdagangan.
Artinya untuk mengetahui apakah hambatan tersebut bersifat mencampuri,
mempengaruhi, atau bahkan mengganggu proses persaingan.
2)
Sanksi dalam
Persekongkolan Tender
Undang-undang Nomor 5 Tahun
1999 hanya memberikan kewenangan kepada KPPU untuk menerapkan sanksi
administratif terhadap pihak-pihak yang melanggar ketentuan undang-undang
tersebut. Berdasarkan hasil pemeriksaan perkara-perkara mengenai persekongkolan
tender, maka unsur pelaku usaha dapat dikategorikan menjadi dua macam, yakni
pihak ”terlapor”, yang merupakan peserta tender, dan ”pihak lain”, yang bukan
peserta tender tetapi mendukung terjadinya persekongkolan tersebut. Dengan
demikian ”pihak lain” selain meliputi pelaku usaha (selain peserta tender),
termasuk pula panitia tender.
Pada perkara
persekongkolan tender Proyek Multi Years di Riau dan tender Pengadaan Bakalan
Sapi Impor di Jawa Timur, KPPU menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku
usaha selaku peserta tender. KPPU tidak memiliki kewenangan menjatuhkan sanksi
kepada ”pihak lain” yakni Panitia tender, karena di kedua perkara tersebut,
panitia adalah Pemerintah Daerah setempat. Kewenangan KPPU hanya sebatas
memberikan rekomendasi kepada atasan pejabat (panitia) yang bersangkutan untuk
menjatuhkan sanksi administratif kepada mereka. Putusan KPPU yang memberikan
rekomendasi pada atasan pejabat tersebut di atas hanya mengikat tetapi tidak
memiliki kekuatan hukum eksekusi apapun. Hal ini karena sifat putusan adalah declaratoir. Rekomendasi pemeriksaan dan
penjatuhan sanksi administratif terhadap ketua panitia tender merupakan langkah
inisiatif KPPU untuk mengantisipasi tidak adanya (berwenangnya) penjatuhan
putusan condemnatoir.
Berkaitan dengan
tiadanya kewenangan KPPU untuk menjatuhkan putusan atau sanksi yang bersifat condemnatoir, terdapat gagasan baru
untuk mempertimbangkan agar putusan dimaksud dapat dikenakan terhadap panitia
tender yang notabene adalah pejabat
pemerintah, selaku ”pihak lain” dalam tender. Hal ini mengingat, bahwa hampir
semua pengadaan barang dan/atau jasa pemerintah dilakukan dan atau dibawah
pengawasan langsung pejabat bersangkutan. Oleh karena itu, setiap pejabat
pemerintah yang sekaligus merupakan Panitia tender seharusnya dianggap
bertanggung jawab atas terselenggaranya tender dengan mempertimbangkan
prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat.
Dalam putusan perkara
persekongkolan tender Pengadaan Tinta Sidik Jari Pemilu Legislatif 2004, KPPU
merekomendasikan agar pengguna barang diperiksa dan dijatuhi sanksi
administratif. Namun dalam putusan declaratoirnya,
KPPU tidak menyatakan bahwa pengguna barang yang bersangkutan melakukan
pelanggaran atas Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999. Rekomendasi ini berbeda dengan
dua putusan perkara persekongkolan tender lainnya, di mana rekomendasi
diberikan atas dasar pelanggaran terhadap Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999.
Rekomendasi tanpa adanya pernyataan pelanggaran merupakan cacat hukum.
Sedangkan dalam perkara persekongkolan
tender Lelang Gula ilegal dan tender Pengadaan Tinta Pemilu Legislatif Tahun
2004, KPPU menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha peserta tender
serta ”pihak lain”. Dalam Lelang Gula Ilegal, Sukamto Effendy yang merupakan
wakil PT Bina Muda Perkasa secara sengaja mengundurkan diri untuk memfasilitasi
Angels Products agar memenangkan tender.
Dalam tender pengadaan
Tinta Sidik Jari Pemilu Legislatif Tahun 2004 dilakukan dengan cara pertemuan
antara para anggota beberapa konsorsium guna meminta dukungan pasokan tinta dan
melakukan pengaturan harga. Para anggota konsorsium juga saling mempertukarkan
informasi mengenai harga dan membagi pekerjaan di antara mereka, bahkan
mengikut sertakan pihak lain, yakni Melina Alaydroes sampai selesainya
pekerjaan. Dalam hal ini, PT Mustika Indra Mas dianggap sebagai pelaku usaha
yang berkedudukan sebagai peserta tender, dan ketujuh konsorsium terkait dengan
tender merupakan ”pihak lain”. Demikian pula PT Multi Mega Service, PT
Senorotan Perkasa, PT Nugraha Karya, PT Tricipta Adimandiri, PT Yanaprima
Hastapersada, PT Nugraha Karya Oshinda, PT Fulcomas Jaya, PT Wahgo
International Corporation, dan PT Lina Permai Sakti sebagai para pelaku usaha
peserta tender. Sedangkan para anggota konsorsium merupakan ”pihak lain” yang
bukan sebagai peserta tender.
Sanksi administratif
yang dijatuhkan terhadap pelaku usaha tersebut (baik ”peserta tender” maupun
”pihak lain”) di atas adalah memerintahkan untuk menghentikan kegiatan yang
merupakan tindak lanjut dari persekongkolan tender, yakni dengan memerintahkan
pemenang tender untuk menghentikan kegiatan pembangunan jalan
selambat-lambatnya 30 hari sejak diterimanya petikan Putusan KPPU,
memerintahkan pelaku usaha untuk membayar ganti rugi, memerintahkan pelaku
usaha untuk membayar denda satu milyar rupiah, dan atau melarang pelaku usaha
mengikuti atau terlibat dalam tender sejenis selama jangka waktu tertentu.
Putusan KPPU yang berisi
sanksi administratif disebut dengan condemnatoir
atau putusan yang bersifat menghukum. Sedangkan putusan yang isinya menyatakan
bahwa pelaku usaha tertentu secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 UU
Nomor 5 Tahun 1999 disebut putusan declaratoir
atau bersifat menerangkan.
Dalam hal putusan KPPU
berupa denda dan atau ganti rugi, maka para pihak yang dijatuhi putusan
tersebut wajib membayar ke Kas Negara. Namun dalam hal putusan KPPU
memerintahkan untuk menghentikan kegiatan, atau melarang pelaku usaha mengikuti
atau terlibat dalam tender sejenis selama jangka waktu tertentu, maka menimbulkan
masalah dalam memintakan eksekusi ke Pengadilan Negeri. Hal ini mengingat bahwa
putusan yang dapat dimintakan eksekusi adalah putusan yang berujud pembebanan
denda dan atau ganti rugi.
Putusan-putusan tersebut
mengikat dan harus dilaksanakan oleh pelaku usaha terkait dengan perkara
setelah berkekuatan hukum tetap. Apabila dalam jangka waktu 30 hari setelah
putusan berkekuatan hukum tetap, namun pelaku usaha tidak melaksanakannya, maka
KPPU melakukan permohonan penetapan eksekusi ke Pengadilan Negeri. Jika
kemudian para pelaku usaha tidak juga melakukan putusan tersebut, maka KPPU
akan menyerahkan putusan penetapan eksekusi tersebut kepada Polri (penyidik),
guna melakukan penyidikan atas ketidak-patuhan para pelaku usaha tersebut.
Dengan demikian tender yang di lakukan tidak
sesuai dengan teori dasar di karenakan tender yang dilakukan terdapat
kecurangan-kecurangan.
BAB
V
PENUTUP
Kesimpulan
Murabahah berasal dari kata al-ribh
(keuntungan), secara bahasa Murabahah
yaitu saling memberi keuntungan. Murabahah berasal dari kata al-ribh
(keuntungan), secara bahasa Murabahah
yaitu saling memberi keuntungan. Jenis-Jenis Bai’ Murabahah di bagi menjadi dua yaitu
murabahah tanpa pesanan dan murabahah berdasarkan pesanan. Murabahah tanpa
pesanan bersifat mengikat dan murabahah berdasarkan pesanan bersifat tidak
mengikat. Hukum bai murabahah diantaranya dari al-Qur’an yang artinya “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama
suka diantara kamu” (QS. An-Nisaa:29). Rukun Dan Syarat-Syarat Bai’ Murabahah Adanya pihak-pihak yang melakukan
akad, yaitu: Penjual dan Pembeli. Obyek yang diakadkan, yang
mencakup: Barang yang diperjualbelikan dan Harga. Akad/Sighat yang terdiri
dari: Ijab (serah) dan Qabul (terima).
Bai' muzayadah atau juga dipanggil sebagai jual beli
secara lelong (auction). Dalam transaksi ini, barang lelongan akan dijual
kepada pembeli yang dapat menawarkan harga yang paling tinggi. Hukum lelang dalam syariat Islam boleh, Ibnu
Abdil Barr berkata “Sesungguhnya tidaklah haram menjual barang kepada orang
yang menambah harga demikianlah menurut kesepakatan ulama. Rasulullah pernah
dalam suatu waktu pernah melakukan lelang yaitu ketika ada seorang pengemis
yang meminta-minta dan diDalam satu Hadis yang
diriwayatkan oleh abu Najih daripada Mujahid dimana Rasulullah SAW bersabda:
"Seseorang boleh melakukan jual beli secara lelongan. Dengan cara
demikianlah seperlima harta rampasan perang dapat dijualsana Rasulullah melakukan lelang terhadap
barang yang dimiliki seorang pengemis tersebut. Jenis-jenis Bai’ Muzaayadah
dibagi menjadi dua yaitu lelang naik dan lelang turun. Sistem lelang dibagi
menjadi dua yaitu lelang terbuka dan lelang tertutup.
Bai’Munaqosah
(Tender) adalah suatu proses penyeleksian yang melibatkan beberapa perusahan
yang mana pemenang akan melaukan kerjasama dengan perusahan tersebut. Contoh ;
pemerintah pusat sedang menjalankan proyek pembangunan gedung DPR baru ,
pemerintah pusat memerlukan bahan-bahan untuk pembuatan gedung tersebut .
kemudian pemerintah melakukan tender dengan perusahan-perusahan yang dapat
menyediakan barang-barang kebutuhan tersebut . dalam penyeleksiannya terdapat
lima perusahan yang mengikuti tender .kemudain kelima perusahan tersebut
menyerah kan proposal mereka dan menpresentasiakannya . setelah itu pemerintah
akan memilih perusahan yang mana yang akan memenangkan proses terder tersebut,
setelah mempetertimbangkan dengan seksama sesuai kebutuhan nya. Bai’Munaqosah (tender)
juga sering dipakai untuk pelaksanaan suatu proyek di mana pemilik
proyek melakukan lelang dan calon peserta/pelaksana proyek mengajukan penawaran
atau tender dengan persaingan harga terendah dan barang/jasa yang sesuai. mengenai
tender pada substansinya tidak jauh berbeda ketentuan hukumnya dari lelang
karena sama-sama penawaran suatu barang/jasa untuk mendapatkan harga yang
dikehendaki dengan kondisi barang/jasa sebagaimana diminati. syariat Islam
memberikan panduan dan kriteria umum sebagai guide line yaitu di
antaranya:1.Transaksi dilakukan oleh pihak yang cakap hukum atas dasar saling
sukarela (‘an taradhin). 2. objek lelang dan tender harus halal dan bermanfaat,
3. kepemilikan penuh pada barang atau jasa yang dijual, 4. kejelasan dan
transparansi barang/jasa yang dilelang atau dutenderkan tanpa adanya manipulasi
seperti window dressing atau lainnya.5.kesanggupan penyerahan barang dari
penjual 6.Kejelasan dan kepastian harga yang disepakati tanpa berpotensi
menimbulkan perselisihan. Tidak menggunakan cara yang menjurus kepada kolusi
dan suap untuk memangkan tender dan tawaran
DAFTAR
PUSTAKA
Dr.
Jaih Mubarak, M.Ag , Perkembangan FATWA
EKONOMI SYARI’AH di Indonesia, (Bandung: Pustataka Bany Quraisy), h. 61-62
[1]Dr. Jaih
Mubarak, M.Ag , Perkembangan FATWA
EKONOMI SYARI’AH di Indonesia, (Bandung: Pustataka Bany Quraisy), h. 61-62
[2]http://hifnawardah.blogspot.co.id/2014/05/makalah-pembiayaan-murabahah.htmlDiakses
pada 11 September 2015 pukul 11.00
[3]http://ryanrahmadi99.blogspot.co.id/2013/04/makalah-murabahah.html Diakses
pada 13 September 2015 pukul 14.30
[4]http://alhushein.blogspot.co.id/2011/12/murabahah.html Di akses pada 13 September 2015 pukul 14.30
[5]http://dayafikir.blogspot.co.id/2011/03/bai-muzayadah.htmlDiakses pada 13 September 2015 pukul 14.00
[6]http://eprints.walisongo.ac.id/1330/3/072411091_Bab2.pdfDiakses
pada 14 September 2015 pukul 10.00
[7]http://aliranim.blogspot.com/2011/10/hukum-jual-beli-lelang-muzayadah.htmlDiakses pada 15 September 2015 pukul 10.00
[8]http://www.niam.co.id/pengertian-tender-arti-tender-contoh-tender-pengadaan-barang/ Diakses pada tanggal 16
september 2015 pukul 14:33
[9]http://www.eramuslim.com/konsultasi/fikih-kontemporer/hukum-lelang-dan-tender.htm#.Vfkpu30sfDc
Diakses pada tanggal 16 september 2015 pukul 15:17