Minggu, 29 November 2015

Matkul Fiqih Muamalah II



MAKALAH
“BAI’ ; MACAM DAN HUKUMNYA : MURABAHAH, MUZAYADAH, MUNAQASHAH”
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Fiqih Muamalah II
Dosen Pengampu : H. Ilham Bustomi, M.Ag

Disusun Oleh:
1.      Abdul Mujib
2.      Maya Ismaya Turohim
3.      Qona’ah Nurbayinah
Semester III

PRODI EKONOMI SYARIAH
SEKOLAH TINGGI EKONOMI ISLAM (STEI)
 AL-ISLAH  CIREBON
2015



KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Illahi Rabbi atas segala limpahan rahmat dan hidayah_Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah  yang berjudul “Bai ; Macam Dan Hukumnya : Murabahah, Muzayadah, Munaqhasah”
Penulis menyadari sepenuhnya dalam penulisan ini masih banyak kekurangan. Hal ini merupakan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang penulis miliki. Penulis akan sangat berterima kasih atas saran dan kritik yang sifatnya membangun, artinya masukan demi perbaikan penulisan dimasa yang akan datang sangat penulis harapkan.
Dalam penyusunan makalah  ini penulis mendapatkan bimbingan, bantuan dan dorongan dari semua pihak sehingga makalah  ini dapat diselesaikan. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
-          H. Ilham Bustomi, M.Ag selaku Dosen Pengampu yang telah memberikan tugas, petunjuk kepada penulis sehingga penulis termotivasi dan menyelesaikan tugas ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan. Khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai.

Cirebon, 02  September 2015


Penyusun










KATA PENGANTAR ...........................................................................................
i
DAFTAR ISI ..........................................................................................................
ii
BAB I    PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah...............................................................................
1
B.     Rumusan Masalah........................................................................................
1
C.     Tujuan penelitian.........................................................................................
2
BAB II    TEORI DASAR

A.    Bai’ Murabahah...........................................................................................
3
B.     Bai’ Muzaayadah.........................................................................................
7
C.     Bai’ Munaqhasah.........................................................................................
10
BAB III    PENELITIAN......................................................................................
15
BAB IV    ANALISIS............................................................................................
21
BAB  V     PENUTUP

Kesimpulan..............................................................................................................
34
DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR ISI













BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Dalam Al-Bai’ di tinjau dari harga al-Bai’ dapat di kategorikan menjadi beberapa jenis diantaranya adalah Murabahah, Muzayadah dan Munaqhasah. Jual beli dalam terminologi fikih disebut dengan al-Bai’ yang secara etimologis dapat diartikan dengan tukar menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lafad al-Bai’ dalam bahasa arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata asy-syira (beli). Dengan demikian kata al-bai’ berarti jual, tetapi sekaligus juga berarti beli. Secara konseptual, murabahah sebagai salah satu bentuk jual beli, sangat banyak dibicarakan oleh kalangan ulama’ fiqh dan secara operasional dia merupakan salah satu produk perbankan Islam diantara produk-produk lainnya.
Bai' muzayadah atau juga dipanggil sebagai jual beli secara lelong (auction). Dalam transaksi ini, barang lelongan akan dijual kepada pembeli yang dapat menawarkan harga yang paling tinggi. Namun satu perkara yang perlu dihindari, iaitu lelongan yang bercampur baur dengan bidaan palsu, semata-mata untuk menaikan harga barang lelongan tersebut. Situasi ini menjurus ke arah wujudnya elemen penipuan dalam transaksi. Sekiranya ia jelas berlaku, transaksi tersebut dianggap tidak sah dari segi hukum.
Bai’Munaqosah (tender)  juga memiliki makna penawaran yaitu suatu penawaran atau pengajuan oleh pentender untuk memperoleh persetujuan (acceptance) mengenai alat bayar sah (legal tender), atau jasa guna melunasi suatu hutang atau kewajiban agar terhindar dari hukuman atau penyitaan jika tak dilunasi. Dalam kontrak bisnis, tender merupakan suatu penawaran yang dilakukan oleh pemasok (supplier) atau kontraktor untuk memasok/memborong barang atau jasa berupa penawaran terbuka (open tender) di mana para peserta tender dapat bersaing menurunkan harga dengan kualitas yang dikehendaki; atau berupa penawaran tertutup (sealed tender) di mana penawaran dimasukkan dalam amplop bermaterai dan dibuka secara serempak pada saat tertentu untuk dipilih yang terbaik dari aspek harga maupun kualitas dan para peserta dapat menurunkan harga lagi
B.     Rumusan Masalah
Ada beberapa permasalahan yang timbul dari pembiayaan bai’ murabahah, bai muzayadah di BMT Al-Ishlah dan bai Muzayadah di kopontren Al-Ishlah :
1.      Bagaimana pembiayaan murabahah di BMT Al-Ishlah  ?
2.      Bagaimana pembiayan muzayadah?
3.      Bagaimana pembiayaan Munaqasah?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pembiayaan murabahah di BMT Al-Ishlah 
2.      Untuk mengetahui pembiayan muzayadah
3.      Untuk mengetahui pembiayaan Munaqasah


















BAB II
TEORI DASAR
A.    Murabahah
1.      Pengertian Bai’ Murabahah
Murabahah berasal dari kata al-ribh (keuntungan), secara bahasa Murabahah  yaitu saling memberi keuntungan. Secara istilah Murabahah di definisikan oleh ulama dengan redaksi yang beragam. Murabahah berasal dari kata al-ribh (keuntungan), secara bahasa Murabahah  yaitu saling memberi keuntungan.[1]
Sedangkan pengertian Murabahah dalam perbankan syari’ah adalah transaksi jual beli dimana bank menyebut jumlah keuntungannya. Bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati, tidak dapat berubah selama berlakunya akad ,sementara pembayaran dilakukan secara tangguh.[2]
2.      Jenis-Jenis Bai’ Murabahah
Murabahah pada prinsipnya adalah jual beli dengan keuntungan, hal ini bersifat dan berlaku umum pada jual beli barang-barang yang memenuhi syarat jual beli murabahah. Dalam Murabahah dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (Wiroso,2005: 38):
1)      murabahah tanpa pesanan, maksudnya ada yang pesan atau tidak, ada yang beli atau tidak, bank syariah menyediakan barang dagangannya. Penyediaan barang pada murabahah ini tidak terpengaruh atau terkait langsung dengan ada tidaknya pesanan atau pembeli.
2)      Murabahah berdasarkan pesanan, maksudnya bank syariah baru akan melakukan transaksi murabahah atau jual beli apabila ada nasabah yang memesan barang sehingga penyediaan barang baru dilakukan jika ada pesanan. Murabahah berdasarkan pesanan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:
a)      murabahah berdasarkan pesanan dan bersifat mengikat , maksudnya apabila telah pesan harus dibeli.
b)      murabahah berdasarkan pesanan yang bersifat tidak mengikat, maksudnya walaupun nasabah telah memesan barang, tetapi nasabah tidak terikat, nasabah dapat menerima atau membatalkan barang tersebut.
3.      Hukum Bai’  Murabahah
Landasan hukum akad murabahah ini adalah:
a)      Al-Quran
Ayat-ayat Al-Quran yang secara umum membolehkan jual beli, diantaranya adalah firman Allah:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: "DanAllahmenghalalkanjualbeli dan mengharamkan riba" (QS. Al-Baqarah:275).
Ayatinimenunjukkanbolehnyamelakukantransaksijualbeli dan murabahahmerupakansalahsatubentukdarijualbeli.
Dan firman Allah
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu” (QS. An-Nisaa:29).
b)      Assunnah
            I.            Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam: “Pendapatan yang paling afdhal (utama) adalah hasil karya tangan seseorang dan jual beli yang mabrur”. (HR. Ahmad Al Bazzar Ath Thabrani).
                II.            Hadits dari riwayatIbnuMajah, dari Syuaib:
أَنَّ النَّبِي صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ثَلاَثٌ فِيْهِنَّ البَرَكَة: البَيْعُ إِلىَ أَجَلٍ, وَالمُقـَارَضَة, وَ خَلْطُ البُرّ بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَ لِلْبَيْعِ. (رَوَاهُ ابْنُ مَاجَه)
”Tiga perkara yang didalamnya terdapat keberkahan: menjual dengan pembayaran secara tangguh, muqaradhah (nama lain dari mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan tidak untuk dijual” (HR. Ibnu Majah).
                 III.            Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam akan hijrah, Abu Bakar Radhiyallahu 'Anhu, membeli dua ekor keledai, lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam berkata kepadanya, "jual kepada saya salah satunya", Abu Bakar Radhiyallahu 'Anhu menjawab, "salah satunya jadi milik anda tanpa ada kompensasi apapun", Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam bersabda, "kalau tanpa ada harga saya tidak mau".
                 IV.            Sebuah riwayat dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'Anhu, menyebutkan bahwa boleh melakukan jual beli dengan mengambil keuntungan satu dirham atau dua dirham untuk setiap sepuluh dirham harga pokok (Azzuhaili, 1997, hal 3766).
                            V.            Selain itu, transaksi dengan menggunakan akad jual beli murabahah ini sudah menjadi kebutuhan yang mendesak dalam kehidupan. Banyak manfaat yang dihasilkan, baik bagi yang berprofesi sebagai pedagang maupun bukan.

c)       Al-Ijma
Transaksi ini sudah dipraktekkan di berbagai kurun dan tempat tanpa ada yang mengingkarinya, ini berarti para ulama menyetujuinya (Ash-Shawy, 1990., hal. 200.).

d)      Kaidah Fiqh, yang menyatakan:
الأَصْلُ فِِى المُعَامَلاَتِ الإِبَاحَة ُ إِلا َّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلىَ تَحْرِيْمِهَا
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

e)      Fatwa Dewan Syariah Nasonal Majelis Ulama Indonesia No.04/DSN-MUI/IV/2000, tentang MURABAHAH.[3]

         4. Rukun Dan Syarat-Syarat Bai’ Murabahah
Rukun murabahah adalah:
a)      Adanya pihak-pihak yang melakukan akad, yaitu:
a.       Penjual
b.      Pembeli
b)      Obyek yang diakadkan, yang mencakup:
a.       Barang yang diperjualbelikan
b.      Harga
c)      Akad/Sighat yang terdiri dari:
a.       Ijab (serah)
b.      Qabul (terima)
Selain itu ada beberapa syarat-syarat sahnya jual beli murabahah adalah sebagai berikut:
·         Mengetahui Harga pokok
Harga beli awal (harga pokok) harus diketahui oleh pembeli kedua, karena mengetahui harga merupakan salah satu syarat sahnya jual beli yang menggunakan prinsip murabahah. Mengetahui harga merupakan syarat sahnya akad jual beli, dan mayoritas ahli fiqh menekankan pentingnya syarat ini. Bila harga pokok tidak diketahui oleh pembeli maka akad jual beli menjadi fasid (tidak sah) (Al-Kasany, hal.3193). Pada praktek perbankan syariah, Bank dapat menunjukkan bukti pembelian obyek jual beli murabahah kepada nasabah, sehingga dengan bukti pembelian tersebut nasabah mengetahui harga pokok Bank.
·         Mengetahui Keuntungan
Keuntungan seharusnya juga diketahui karena ia merupakan bagian dari harga. Keuntungan atau dalam praktek perbankan syariah sering disebut dengan margin murabahah dapat dimusyawarahkan antara bank sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli, sehingga kedua belah pihak, terutama nasabah dapat mengetahui keuntungan bank.
·           Harga pokok dapat dihitung dan diukur
Harga pokok harus dapat diukur, baik menggunakan takaran, timbangan ataupun hitungan. Ini merupakan syarat murabahah. Harga bisa menggunakan ukuran awal, ataupun dengan ukuran yang berbeda, yang penting bisa diukur dan di ketahui.
·         Jual beli murabahah tidak bercampur dengan transaksi yang mengandung riba.
·         Akad jual beli pertama harus sah. Bila akad pertama tidak sah maka jual beli murabahah tidak boleh dilaksanakan. Karena murabahah adalah jual beli dengan harga pokok ditambah keuntungan, kalau jual beli pertama tidak sah maka jual beli murabahah selanjutnya juga tidak sah (Azzuhaily, hal. 3767-3770).[4]

B.     Bai’Muzayadah (lelang)
1.      Pengertian Bai’  Muzaayadah
Bai' muzayadah atau juga dipanggil sebagai jual beli secara lelong (auction). Dalam transaksi ini, barang lelongan akan dijual kepada pembeli yang dapat menawarkan harga yang paling tinggi.
Lelang adalah salah satu jenis jual beli dimana penjual menawarkan barang di tengah keramaian lalu para pembeli saling menawar dengan suatu harga. Namun akhirnya penjual akan menentukan, yang berhak membeli adalah yang mengajukan harga tertinggi. Dalam kitab-kitab fikih atau hadits, jual beli lelang biasanya disebut dengan istilah bai’ al-muzayadah (adanya penambahan). Hukum lelang dalam syariat Islam boleh, Ibnu Abdil Barr berkata “Sesungguhnya tidaklah haram menjual barang kepada orang yang menambah harga demikianlah menurut kesepakatan ulama. Rasulullah pernah dalam suatu waktu pernah melakukan lelang yaitu ketika ada seorang pengemis yang meminta-minta dan disana Rasulullah melakukan lelang terhadap barang yang dimiliki seorang pengemis tersebut. Didalam Al-qur’an diterangkan bahwa adanya kebebasan, keleluasaan dan keluasan ruang gerak bagi kegiatan usaha umat Islam dalam rangka mencari karunia Allah berupa rezki yang halal melalui berbagai bentuk transaksi saling menguntungkan yang berlaku di masyarakat ataupun merampas hak-hak orang lain secara tidak sah.
Majoriti ulama' sepakat yang bai' muzayadah adalah dibenarkan dari segi hukum. Namun, bagi an-Nakhai' transaksi ini adalah makruh hukumnya. Begitu juga dengan al-Hasan al-Basari, ibn Sirin dan al-Auzai' berpandangan ianya juga makruh kecuali lelongan harta rampasan perang dan harta pusaka.
Dalam satu Hadis yang diriwayatkan oleh abu Najih daripada Mujahid dimana Rasulullah SAW bersabda:
"Seseorang boleh melakukan jual beli secara lelongan. Dengan cara demikianlah seperlima harta rampasan perang dapat dijual"[5]
2.      Jenis-jenis Bai’ Muzaayadah
Pada umumya lelang hanya ada dua macam yaitu lelang turun dan lelang naik. keduanya dapat dijelaskan sebagai berikut:
a)      Lelang Turun
Lelang turun adalah suatu penawaran yang pada mulanya membuka lelang dengan harga tinggi, kemudian semakin turun sampai akhirnya diberikan kepada calon pembeli dengan tawaran tertinggi yang disepakati penjual melalui juru lelang (auctioneer) sebagai kuasa si penjual untuk melakukan lelang, danbiasanya ditandai dengan ketukan.
b)      Lelang Naik
Sedangkan penawaran barang tertentu kepada penawar yang pada mulanya membuka lelang dengan harga rendah, kemudian semakin naik sampai akhirnya diberikan kepada calon pembeli dengan harga tertinggi, sebagaimana lelang ala Belanda (Dutch Auction) dan disebut dengan lelang naik.[6]
Ada dua cara yang digunakan dalam sistem lelang yaitu lelang terbuka dan tertutup.
1.      Lelang tertutup adalah lelang yang dilakukan dimana peminat mengajukan harga untuk properti yang ia minati didalam amplop tertutup atau dirahasiakan. Dalam sistem lelang tertutup harga penawar tertinggi tidak diketahui. Pemenang baru diketahui setelah proses penawaran selesai dilakukan dan hasilnya diumumkan.
2.      Lelang terbuka adalah lelang yangdiadakan oleh balai lelang dimana peminat properti dikumpulkan di suatu tempat untuk mengikuti lelang.
Dalam Pegadaian Syariah apabila nasabah tidak mampu membayar setelah diperpanjang masa pembayaran uang pinjaman dan tidak melakukan perpanjangan gadai lagi, atau pun saat jatuh tempo 4 bulan pertama nasabah menyatakan tidak sanggup untuk memperpanjang pembayaran uang pinjaman dan berkeinginan untuk dilelang saja, maka barang jaminan akan dilelang. Sebelum melaksanakan pelelangan itu, pihak Pegadaian Syariah memberitahukan terlebih dahulu kepada nasabah, baik melalui kontak langsung (lewat telepon/HP) maupun tidak langsung (melalui surat).
Pelelangan secara tertutup dengan harga tertinggi, yang sebelumnya telah diberitahukan dulu harga dasarnya. Hal ini dilakukan untuk mengurangi unsur kerugian dengan ditetapkan minimal harga emas Pegadaian pada saat pelelangan, dengan margin 2 % untuk pembeli. Dan apabila dalam pelelangan tertutup itu, harga minimal yang telah ditetapkan Pegadaian Syariah sendiri yang membeli agar hasilnya dapat digunakan untuk membayar atau menutupi hutang dan biaya lain dari nasabah.
Penjualan barang gadai setelah jatuh tempo adalah sah.Hal itu, sesuai dengan maksud dari pengertian hakikat gadai itu sendiri, yaitu sebagai kepercayaan dari suatu utang untuk dipenuhi harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya dari orang yang berpiutang. Karena itu, barang gadai dapat dijual untuk membayar utang, dengan cara mewakilkan penjualannya kepada orang yang adil dan terpercaya.
3.      Hukum Bai’  Muzaayadah
Dalam transaksi keuangan Islam, harga ditentukan atas dasar keinginan pembeli dan penjual. Dalam banyak hal, barang akan terjual kepada pembeli yang menawar dengan harga yang tertinggi. Dalam perspektif syariah, transaksi yang melibatkan proses lelang ini disebut sebagai bay` muzayadah, yang diartikan sebagai suatu metode penjualan barang dan atau jasa berdasarkan harga penawaran tertinggi.
Pada Bay` muzayadah ini, penjual akan menawarkan barang dengan sejumlah pembeli yang akan bersaing untuk menawarkan harga yang tertinggi. Proses ini berakhir dengan dilakukannya penjualan oleh penjual kepada penawar yang tertinggi dengan terjadinya akad dan pembeli tersebut mengambil barang dari penjual.
Lelang ada dalam Islam dan hukumnya boleh (mubah). Ibnu Abdil Barr berkata,”Sesungguhnya tidaklah haram menjual barang kepada orang yang menambah harga, demikianlah menurut kesepakatan ulama.”(innahu laa yahrumu al-bai’u mimman yaziidu ittifaaqan) (Subulus Salam,Juz III/23).
Dalil bolehnya lelang adalah as-Sunnah. Imam Bukhari telah membuat bab dengan judul Bab Bai’ Al-Muzaayadah dan di dalamnya terdapat hadits Anas bin Malik RA yang juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad (Musnad, III/100 & 114), Abu Dawud, no. 1641; an-Nasa`i, VII/259, at-Tirmidzi, hadits no. 1218 (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz III/23; Abdullah al-Mushlih & Shalah ash-Shawi, ibid., hal. 111).
Anas bin Malik RA meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki Anshar yang datang menemui Nabi SAW dan dia meminta sesuatu kepada Nabi SAW.Nabi SAW bertanya kepadanya, ”Apakah di rumahmu tidak ada sesuatu”? Lelaki itu menjawab,”Ada. Dua potong kain, yang satu dikenakan dan yang lain untuk alas duduk, serta cangkir untuk meminum air.” Nabi SAW berkata,”Kalau begitu, bawalah kedua barang itu kepadaku.” Lelaki itu datang membawanya. Nabi SAW bertanya,”Siapa yang mau membeli barang ini?” Salah seorang sahabat beliau menjawab,”Saya mau membelinya dengan harga satu dirham.” Nabi SAW bertanya lagi,”Ada yang mau membelinya dengan harga lebih mahal?” Nabi SAW menawarkannya hingga dua atau tiga kali. Tiba-tiba salah seorang sahabat beliau berkata,”Aku mau membelinya dengan harga dua dirham.” Maka Nabi SAW memberikan dua barang itu kepadanya dan beliau mengambil uang dua dirham itu dan memberikanya kepada lelaki Anshar tersebut. (HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa`i, dan at-Tirmidzi) (Abdullah al-Mushlih & Shalah ash-Shawi, ibid., hal. 111).
Hadits di atas adalah satu dalil di antara dalil-dalil yang membolehkan jual beli lelang (bai’ al-muzaayadah).
Sebagian ulama seperti an-Nakha`i memakruhkan jual beli lelang, dengan dalil hadits dari Sufyan bin Wahab bahwa dia berkata,”Aku mendengar Rasulullah SAW melarang jual beli lelang.” (sami’tu rasulallah SAW nahaa ‘an bai’ al-muzayadah). (HR Al-Bazzar). (Imam As-Suyuthi,Al-Jami’ Ash-Shaghir, Juz II/191).
Namun pendapat itu lemah karena dalam isnad hadits ini terdapat perawi bernama Ibnu Lahi’ah yang dikategorikan sebagai seorang perawi yang lemah (dha`if) (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz III/23; Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar, Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000, hal. 1045).[7]

C.    Bai’Munaqosah
1.      Pengertian Bai’Munaqosah
Bai’Munaqosah (Tender) adalah suatu proses penyeleksian yang melibatkan beberapa perusahan yang mana pemenang akan melaukan kerjasama dengan perusahan tersebut. Contoh ; pemerintah pusat sedang menjalankan proyek pembangunan gedung DPR baru , pemerintah pusat memerlukan bahan-bahan untuk pembuatan gedung tersebut . kemudian pemerintah melakukan tender dengan perusahan-perusahan yang dapat menyediakan barang-barang kebutuhan tersebut . dalam penyeleksiannya terdapat lima perusahan yang mengikuti tender .kemudain kelima perusahan tersebut menyerah kan proposal mereka dan menpresentasiakannya . setelah itu pemerintah akan memilih perusahan yang mana yang akan memenangkan proses terder tersebut, setelah mempetertimbangkan dengan seksama sesuai kebutuhan nya.[8]
Bai’Munaqosah (tender)  juga memiliki makna penawaran yaitu suatu penawaran atau pengajuan oleh pentender untuk memperoleh persetujuan (acceptance) mengenai alat bayar sah (legal tender), atau jasa guna melunasi suatu hutang atau kewajiban agar terhindar dari hukuman atau penyitaan jika tak dilunasi. Dalam kontrak bisnis, tender merupakan suatu penawaran yang dilakukan oleh pemasok (supplier) atau kontraktor untuk memasok/memborong barang atau jasa berupa penawaran terbuka (open tender) di mana para peserta tender dapat bersaing menurunkan harga dengan kualitas yang dikehendaki; atau berupa penawaran tertutup (sealed tender) di mana penawaran dimasukkan dalam amplop bermaterai dan dibuka secara serempak pada saat tertentu untuk dipilih yang terbaik dari aspek harga maupun kualitas dan para peserta dapat menurunkan harga lagi.
Bai’Munaqosah (tender)  juga sering dipakai untuk pelaksanaan suatu proyek di mana pemilik proyek melakukan lelang dan calon peserta/pelaksana proyek mengajukan penawaran atau tender dengan persaingan harga terendah dan barang/jasa yang sesuai.
Sistem pengadaan barang dan jasa pada umumnya menggunakan mekanisme penawaran yang terbuka, sesuai dengan prinsip persaingan sehat. Penawaran tender yang mengesampingkan prinsip tersebut akan mengakibatkan inefisiensi, tidak efektif, non akuntabilitas serta tidak tepat sasaran yang dituju. Oleh karena itu, dalam proses tender harus mengedepankan prinsip keterbukaan, sehingga pelaku usaha memperoleh akses tanpa diskriminasi atas pelaku usaha tertentu dalam menjalankan sistem perekonomian. Salah satu aktivitas yang dilarang dalam penawaran tender adalah persekongkolan penawaran tender.
Larangan persekongkolan penawaran tender diatur dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Ketentuan tersebut mencakup penawaran pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan swasta. Penjelasan Pasal 22 menyatakan, bahwa tender adalah tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan dan/atau untuk pengadaan barang-barang atau penyediaan jasa. Tender ditawarkan oleh pengguna barang dan jasa kepada pelaku usaha yang memiliki kredibilitas dan kapabilitas berdasarkan alasan efektivitas dan efisiensi. Adapun alasan-alasan lain pengadaan barang dan jasa adalah, pertama, memperoleh penawaran terbaik untuk harga dan kualitas. Kedua, memberi kesempatan yang sama bagi semua pelaku usaha yang memenuhi persyaratan untuk menawarkan barang dan jasanya. Ketiga, menjamin transparansi dan akuntabilitas pengguna barang dan jasa kepada publik, khususnya pengadaan barang/jasa di lembaga atau instansi pemerintah.
Pengertian tender tersebut mencakup tawaran mengajukan harga untuk:
1.      memborong atau melaksanakan suatu pekerjaan;
2.      mengadakan barang dan jasa;
3.      membeli suatu barang dan jasa
4.      menjual suatu barang dan jasa
Praktik persekongkolan telah meluas di kalangan dunia usaha, terutama pelaku usaha yang melakukan transaksi bisnis dengan pemerintah melalui persekongkolan dalam kegiatan tender. Praktik tersebut merupakan bagian dari praktik perburuan rente ekonomi dalam sistem ekonomi politik yang buruk, yang mengakibatkan inefisiensi dan ekonomi biaya tinggi. Melemahnya ekonomi Indonesia karena hutang dan anggaran belanja negara yang tidak efisien disebabkan oleh persekongkolan tender dalam pengadaan barang dan jasa, khususnya barang dan jasa pemerintah. Praktik persekongkolan dalam kegiatan tender terkait pula dengan praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) yang meluas di Indonesia, baik di masa lalu maupun sekarang.
Mengingat dampak yang signifikan atas praktik persekongkolan tender, UU Nomor 5 Tahun 1999 secara tegas menetapkan dua jenis sanksi yang dapat dikenakan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan tersebut, khususnya terhadap ketentuan Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24, yaitu sanksi administratif dan sanksi pidana, berupa pidana pokok dan pidana tambahan.
Ketentuan Pasal 47 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan, bahwa KPPU berwenang untuk menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan UU Nomor 5 Tahun 1999. Sedangkan ketentuan ayat (2) menetapkan bentuk-bentuk tindakan administratif, termasuk pelanggaran terhadap pasal-pasal tersebut di atas.
Adapun sanksi pidana yang dikenakan adalah denda antara lima milyar sampai dengan duapuluh lima milyar rupiah, atau kurungan pengganti denda selama lima bulan. Selanjutnya, sanksi terhadap pelanggaran ketentuan Pasal 41 UU Nomor 5 Tahun 1999 adalah apabila pelaku usaha menolak bekerjasama dalam penyelidikan atau pemeriksaan dengan ancaman pidana denda sebesar satu milyar sampai dengan lima milyar rupiah. Ketentuan Pasal 49 undang-undang tersebut menyatakan, bahwa pidana pokok tersebut dapat disertai dengan pidana tambahan berupa pencabutan ijin usaha atau larangan menduduki jabatan Direksi atau Komisaris sekurang-kurangnya dua tahun, dan
2.      Hukum Bai’Munaqosah
Adapun mengenai tender pada substansinya tidak jauh berbeda ketentuan hukumnya dari lelang karena sama-sama penawaran suatu barang/jasa untuk mendapatkan harga yang dikehendaki dengan kondisi barang/jasa sebagaimana diminati. Namun untuk mencegah adanya penyimpangan syariah dan pelanggaran hak, norma dan etika dalam praktik lelang maupun tender, syariat Islam memberikan panduan dan kriteria umum sebagai guide line yaitu di antaranya:
  1. Transaksi dilakukan oleh pihak yang cakap hukum atas dasar saling sukarela (‘an taradhin)
  2. objek lelang dan tender harus halal dan bermanfaat,
  3. kepemilikan penuh pada barang atau jasa yang dijual,
  4. kejelasan dan transparansi barang/jasa yang dilelang atau dutenderkan tanpa adanya manipulasi seperti window dressing atau lainnya
  5. kesanggupan penyerahan barang dari penjual,
  6. Kejelasan dan kepastian harga yang disepakati tanpa berpotensi menimbulkan perselisihan.
  7. Tidak menggunakan cara yang menjurus kepada kolusi dan suap untuk memangkan tender dan tawaran.
Segala bentuk rekayasa curang untuk mengeruk keuntungan tidak sah dalam praktik lelang maupun tender dikategorikan para ulama dalam praktik Najasy (komplotan/trik kotor tender dan lelang) yang diharamkan Nabi saw. (HR. Bukhari dan Muslim) atau juga dapat dimasukkan dalam kategori Risywah (sogok) bila penjual atau pembeli menggunakan uang, fasilitas ataupun service untuk memenangkan tender ataupun lelang yang sebenranya tidak memenuhi kriteria yang dikehendaki mitranya bisnisnya.[9]



BAB III
PENELITIAN
1.      Hasil penelitian di lapangan produk Murabahah
Salah satu skim fiqih yang paling popular digunakan oleh perbankan syariah atau BMT adalah jual beli murabahah. Transaksi murabahahini lazim digunakan karena sederhana dan tidak terlalu asing bagi yang sudah terbiasa transaksi dengan dunia perbankan syariah pada umumnya termasuk BMT Al-Ishlah.Kalangan perbankan syari’ah di Indonesia banyak menggunakan bai’ murabahah secara berkelanjutan seperti untuk modal kerja. Pembiayaan murabahah membantu nasabah untuk mendapat penambahan modal usaha atau pembelian barang. Dalam  pembiayaan ini nasabah juga dimintai untuk menyerahkan barang jaminan. Untuk mendapatkan pembiayaan  nasabah dapat datang langsung ke BMT Al-Ishlah. Dengan membawa persyaratan :
1)      Menyerahkan fotocopy KTP suami istri
2)      Fotocopy kartu keluarga (KK)
3)      Fotocopy surat nikah.
4)      Menyerahan barang jaminan.
5)      Menyerahakan rekening listrik/ telpon
6)      Amanah dan bertanggung jawab
7)      Fotocopy slip gaji bagi pegawai / karyawan
8)      Bersedia disurvey
9)      dll
Anggota yang telah memenuhi persyaratan dandisurvey oleh pengelola/manajer, selanjutnya membicarakan barang pesanan yang dibutuhkan oleh nasabah. Setelah  itu BMT dan nasabah  bernegosiasi dalam penentuan keuntungan. Setelah ada kesepakatan antara BMT dan nasabah, maka dibuat akad pembiayaan murabahah. Dalam akad  memberitahukan harga barang yang dibeli dan besarnya margin /keuntungan untuk BMT.
Untuk menjaga agar pemesan atau nasabah tidak main-main dengan pesanan maka diperbolehkan meminta jaminan. Si pembeli (BMT/penyedia pembiayaan) dapat meminta nasabah  suatu jaminan (rahn) untuk dipegangnya untuk pembayaran hutang.

Jenis-jenis Murabahah untuk nasabah/pemesan:
1)      BMT mengangkat nasabah sebagai wakil yang diberi kuasa untuk melakukan pembelian barang atas nama BMT dan melakukan akad wakalah. Masa tenggang untuk pembelian barang selama 3 hari lalu datang k BMT untuk di akadkan. Setelah nasabah melakukan pembeliaan dan di serahkan kepada pihak BMT dan melakukan akad murabahah dengan jumlah harga beli di tambah keuntungan kepada BMT.
2)      BMT melakukan pembelian setelah ada pemesanan dari nasabah. Pihak BMT  bertindak sebagi penjual, sementar nasabah sebagai pembeli. BMT menyebutkan harga asal barang dengan tambahan keuntungan bagi BMT yang telah di sepakati.

2.      Muzayadah (lelang)
Berdasarkan hasil penelitian lapangan yang penulis lakukan melalui wawancara kepada informan, maka diperoleh keterangan tentang sejumlah kasus praktik lelang barang jaminan pada Perum Pegadaian Syariah Cabang Kebun Bunga Banjarmasin, yaitu praktik lelang emas. Alasan dilakukan Praktik lelang emas karena barang jaminan perhiasan emas dari segi jumlah lebih cepat terkumpul dari UPC Syariah lain dan proses penjualan lelang juga tidak lama :
1. Kasus 1
a. Pihak Penjual
Nama: AH
Umur: 24
Pendidikan : S1
Pekerjaan: Staf Administrasi pada bagian Penaksir
Alamat: Jl. Dahlia komp. Kebun Sayur Banjarmasin.
b. Pembeli
Nama: SH
Umur: 35
Pendidikan: SMP Sederajat
Pekerjaan: Pedagang Emas
Alamat: Jl. Pekapuran Raya.
c. Uraian Kasus
Pada tanggal 28 April 2015 AH telah dilakukan lelang barang gadai yang telah jatuh tempo, barang yang dilelang sebelumnya sudah diberitahukan kepada nasabah bahwa barang jaminannya dilelang. Jumlah pinjaman nasabah yang jatuh lelang adalah sebesar Rp. 1,750,000,-.
Sebelum melakukan lelang AH terlebih dahulu melakukan pemisahan barang yang dilelang dan melakukan taksir ulang serta menghitung limit lelang. Kemudian AH pergi ke pasar membawa barang jaminan berupa emas 22 karat dengan berat 5 gram, setiba di pasar AH langsung menuju toko emas yang inginmembeli barang tersebut.
AH menyerahkan emas dan memberitahukan harga taksiran yaitu senilai Rp. 2,208,978,- kepada pihak toko. SH kemudian melakukan uji kualitas emas dengan melakukan pembakaran untuk mengetahui perubahan warna dan melakukan penimbangan untuk mengetahui berat emas, kemudian menentukan harga beli. Setelah diketahui kualitas emas dan beratnya SH membeli seharga Rp. 2,205,600,-. Karena emas mengalami perubahan warna seperti merah-merah sehingga harga jual menurun.Pihak pegadaian melakukan negosiasi dengan mencocokkan harga taksiran penjualan. Setelah diketahui selisih harganya yaitu Rp. 3,378,- pihak pegadaian menjual barang tersebut. Meskipun harga beli yang ditawarkan oleh SH tidak mendekati harga taksiran,namun pihak pegadaian tetap menjual barang itukarena beralasan hasil dari penjualan barang tersebut masih mampu menutupi kerugian dari pinjaman nasabah yang tidak dibayar.
SH adalah seorang penjual emas yang memiliki toko emas di Pasar Sentra Antasari, toko tersebut terbilang cukup besar dari sekian banyak penjual emas yang lainnnya. Lokasi toko yang strategis dan menjual banyak jenis perhiasan yaitu berbagai jenis emas, membuat toko ini selalu ramai diminati oleh pembeli.
Toko ini berdiri kurang lebih sudah 15 tahun dan sudah mampu membuka toko cabang emas lainnya.Toko emas SH ini tidak hanya menjual emas saja, namun juga bisa melayani pembelian atau tukar tambah bagi orang yang ingin menjual perhiasan kepada toko tersebut.Toko ini tidak mengetahui dengan praktik lelang, karena SH beralasan bahwa itu jual beli biasa, SH sering membeli emas dari pihak pegadaian menurut dia untung, selain dapat membeli harga yang murah, emas yang di tawarkan kualitasnya juga bagus.
2. Kasus 2
a. Pihak Penjual
Nama: HB
Umur: 30
Pendidikan : S1
Pekerjaan: Staf Administrasi pada bagian Penaksir
Alamat: Jl. Sulawesi Banjarmasin Timur
b. Pembeli
Nama: HM
Umur: 40
Pendidikan: SMP Sederajat
Pekerjaan: Pedagang Emas
Alamat: Jl. Pekapuran
c. Uraian kasus
Pada tanggal 28 April 2015 HB telah dilakukan lelang barang gadai yang jatuh tempo, barang yang dilelang sebelumnya sudah diberitahukan kepada nasabah bahwa barang jaminannya dilelang. Jumlah uang pinjaman nasabah yang telah jatuh tempo adalah sebesar Rp. 1,160,214,-. Sebelum melakukan lelang HB terlebih dahulu melakukan pemisahan barang yang dilelang dan melakukan taksir ulang serta menghitung limit lelang. Kemudian HB pergi ke pasar membawa barang jaminan berupa emas 21 karat dengan berat 3 gram, setiba di pasar HB berkeliling menawarkan emas tersebut dari satu toko ke toko lainnya dengan mencocokkan harga taksiran penjualan yaitu senilai Rp .1,300,254,- .Toko pertama melakukan uji kualitas emas dengan melakukan pembakaran untuk mengetahui perubahan warna emas dan juga melakukan timbangan, setelah diketahui kualitas dan berat emas toko ini menawar dengan harga Rp. 1,282,103.
HB menghitung selisih harga taksiran dengan harga penawaran pembeli ternyata sangat jauh selisihnya, HB memutuskan untuk tidak menjualnya dan kemudian berpindah menawarkan ke toko lain, setiap toko juga melakukan uji kualitas emas dengan melakukan pembakaran untuk mengetahui perubahan warna dan melakukan penimbangan untuk mengetahui berat emas dan kemudian menentukan harga beli. Dari sekian banyak toko yang ditawarkan hanya satu toko yaitu HM yang menawar dengan harga beli senilai Rp. 1,301,280,- setelah HB menghitung selisih harga taksiran dengan harga beli yaitu selisihnya sebesar Rp. 1,026,- maka HB memutuskan untuk menjual barang tersebut. Alasan HB memutuskan untuk menjual karena harga yang ditawarkan senilai dengan harga taksiran walaupuntidak banyak menguntungkan yang penting hasil penjualan ini bisa menutupi kerugian dari uang pinjaman nasabah tersebut.
Toko HM tidak terlalu besar namun cukup ramai diminati oleh pembeli.Toko ini menjual semua jenis emas, toko emas HM ini tidak hanya menjual emas saja, namun juga bisa melayani pembelian atau tukar tambah bagi orang yang ingin menjual perhiasan kepada toko tersebut. HM tidak mengetahui bahwa barang emas yang di jual oleh pegadaian tersebut dikatakan lelang, dia beranggapan bahwa itu hanya jual beli biasa dan juga tidak mengetahui bagaimana cara pelelangan pegadaian. HM mengatakan bahwa dia tidak sering melakukan pembelian emas yang ditawarkan oleh pihak pegadaian, karena HM tertarik membeli melihat dari kualitas emas yang ditawarkan oleh pihak pegadaian.

3.      Munaqashah (tender)
          Penelitian tentang ”Sanksi dalam Perkara Persekongkolan Tender Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat” merupakan suatu penelitian yuridis-normatif. Sebagai suatu penelitian yuridis normatif, maka penelitian ini berbasis pada analisis norma hukum, baik  hukum dalam arti law as it is written in the books (dalam peraturan perundang-undangan), maupun hukum dalam arti law as it is decided by judge through judicial process (putusan-putusan lembaga yudisial). Dengan demikian obyek yang dianalisis adalah norma hukum, baik dalam peraturan perundang-undangan yang secara konkrit ditetapkan oleh hakim, maupun Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam perkara-perkara  yang diputuskan di lembaga pengawas tersebut.
Pemahaman yang mendalam mengenai norma-norma serta pengaturan tentang persaingan usaha yang sehat dikaji dengan mendasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Larangan persekongkolan secara khusus diatur dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 24 undang-undang tersebut. Undang-undang ini juga secara implisit menyiratkan tentang metode pendekatan hukum yang digunakan oleh KPPU untuk menyelidiki kasus-kasus pelanggaran terhadap ketentuan hukum persaingan. Guna melengkapi kajian yuridis terhadap kasus yang terjadi di lapangan, ditinjau pula peraturan pelaksanaan yang lain di bidang hukum persaingan, antara lain adalah Keppres Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan atau Jasa Pemerintah beserta ke-empat amandemen-amandemennya, dan Pedoman Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999.    
Penelitian ini menggunakan beberapa batasan istilah yang terkait dengan persekongkolan dalam tender, yakni sebagai berikut:
1)      Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan hokum, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha ekonomi.
2)      Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang, dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
3)      Persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar yang bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol. Konsep persekongkolan selalu melibatkan dua pihak atau lebih untuk melakukan kerjasama. Pembentuk UU memberi tujuan persekongkolan secara limitatif, yaitu untuk menguasai pasar bagi kepentingan pihak-pihak yang bersekongkol.
4)      Pasar bersangkutan adalah pasar yang terkait dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang, dan atau jasa tersebut. Penguasaan pasar merupakan perbuatan yang diantisipasi dalam persekongkolan, termasuk dalam kegiatan tender.
5)      Persekongkolan dalam kegiatan tender menurut pengertian di beberapa Negara merupakan perjanjian beberapa pihak untuk memenangkan pesaing dalam suatu kegiatan tender.
6)      Tender adalah tawaran untuk mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan untuk memborong atau melaksanakan suatu pekerjaan, mengadakan barang dan atau jasa, mmebeli suatu barang dan atau jasa, menjual suatu barang dan atau jasa.
7)      Barang adalah setiap benda, baik berujud maupun tidak berujud, baik bergerak maupun tidak bergerak yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. Sedangkan barang tidak berujud diartikan sebagai jasa.
8)      Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.



BAB IV
ANALISIS
1.      Penerapan akad Murabahah di BMT Al-Ishlah
Akad Murabahah BMT Al-Ishlah pada praktiknya sudah sesuai dengan hukum  islam nya. Ini terbukti bahwa pembiayaanmurabahah  dilakukan dengan akad jual beli dengan beberapa ketentuan dankesepakatan yang berlaku antara nasabah dan pihak BMT. Misalnya dalampenentuan margin keuntungan pada hal ini antara nasabah dan BMT salingsepakat.
Dalam teorinya menggunakan akad murabahah sesuai dengan ajaran syariah Islam yaitu tidak boleh mengandung unsur-unsuryang dilarang Islam seperti riba.  Namun disamping itu dalam praktik di BMT Al-Ishlah belum 100% sempurna dalam menerapkan kaidah-kaidah yang berlakudalam akad murabahah, misalnya dalam pembelian barang yang seharusnya pihak BMT yang seharusnya menyediakan barang yang dibutuhkan oleh nasabah, kemudian nasabah membayar atas barang tersebut dengan cara mengangsur. Namun disini BMT sering mewakilkan pembelian barang tersebut kepada nasabah itu sendiri dengan tujuan untuk mempermudah dalam proses pemberian pembiayaan. namun hal resebut masih bisa dimaklumi dalam artian masih berjalan dalam koridor yang tidak menyimpang.
Dasar hukum yang dijadikan sebagai landasan murabahah adalah merujuk pada dasar hukum jual-beli :
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: "..DanAllahmenghalalkanjualbeli dan mengharamkan riba" (QS. Al-Baqarah:275).
Produk ini di Indonesia didasarkan atas Fatwa Dewan Syariah Nasonal Majelis Ulama Indonesia No.04/DSN-MUI/IV/2000, tentang murabahahyaitu menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba
Secara teknis, akad bai’ al-murabahah tersebut terlaksana dengan kedatangan nasabah ke BMT  dan mengajukan permohonan Pembiayaan  al-Murabahah untuk pembelian suatu barang dan menyatakan kesanggupan untuk membeli barang tersebut. Setelah melihat kelayakan nasabah untuk menerima fasilitas pembiayaan tersebut, maka bank menyetujui permohonannya. BMT  kemudian membelikan atau menunjuk nasabah sebagai agen BMT untuk membeli barang yang diperlukannya atas nama bank dan menyelesaikan pembayaran harga barang dari biaya bank. BMT seketika itu juga menjual barang tersebut kepada nasabah pada tingkat harga yang disetujui bersama (yang terdiri dari harga pembelian ditambah mark-up atau margin keuntungan) untuk dibayar dalam jangka waktu yang telah disetujui bersama. Dan pada waktu jatuh tempo, nasabah membayar harga jual barang yang telah disetujui tersebut kepada BMT.
Oleh karena itu, produk-produk pendanaan dan pembiayaan padalembaga keuangan syariah harus menghindari unsur-unsur yang dilarang olehIslam. Seperti pada BMT Al-Ishlah  dalam salah satu produk pembiayaan yang menggunakan prinsip jual beli (murabahah) dalampraktiknya sudah sesuai menurut syariah.
Pelaksanaan akad murabahah BMT Al-Ishlah juga telah memenuhi rukun dan syarat dari prinsip murabahah, karena hal tersebut akan menentukan sah atau tidaknya akad. Seperti yang sudah disampaikan, rukun adalah unsur yang mutlak harus ada dalam suatu hal atau tindakan. Dalam akad murabahah rukun yang harus dipenuhidi antaranya:
  1. Penjual (al-bai’) dianalogkan sebagai BMT;
  2. Pembeli (al-musytari) dianalogkan sebagai nasabah;
  3. Barang yang akan diperjual belikan (al-mabi’), yaitu jenis barang pembiayaan;
  4. Harga (al-saman) dianalogkan sebagai pricing atau plafond pembiayaan;
  5. Ijab dan qabul dianalogkan sebagai akad atau perjanjian, yaitu pernyataan persetujuan yang dituangkan dalam akad perjanjian.
Dalam akad murabahah pada BMT Al-Ishlah  telah memenuhi semua rukun tersebut. Begitu juga dengan syarat-syarat juga telah terpenuhi dalam akad murabahah pada BMT Al-Ishlah.
2.      Penerapan Bai’ Muzayaadah (lelang)
Dari uraian kasus di atas tentang praktik lelang barang jaminan, jelaslah bahwa pada semua kasus pihak pegadaian sebagai penjual merasa puas dengan harga emas yang ditetapkan oleh pembeli, karena meyakini bahwa harga beli yang di tawarkan tersebut mampu menutupi kerugian dari hasil uang pinjaman nasabah yang belum dibayar meskipun keuntungan yang didapat tidak maksimal bahkan pihak pegadaian terkadang harus menanggung rugi atas barang jaminan tersebut apabila harga beli tidak ada kesepakatan oleh pembeli. Dalam hal ini bagaimana tinjauan ekonomi islam. Penulis menganalisis masalah ini sebagai berikut:
Sebagaimana kita ketahui bahwa jual beli merupakan salah satu sikap bermuamalah dalam kehidupan antara yang satu dengan yang lainnya. Jual beli itu sendiri merupakan persetujuan saling mengikat antara pihak yang penjual sebagai pihak yang menyerahkan barang dan pihak pembeli sebagai pihak yang membeli barang.
Secara hukum Islam, jual beli adalah sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat. Rukun jual beli ada tiga, yaitu akad (ijab kabul), orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli), dan ma’kud alaih (objek akad).
1.      akad ialah ikatan antara kata antara penjual dan pembeli. Jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab dan kabul dilakukan sebab ijab kabul menunjukkan kerelaan (keridhaan). Syarat-syarat sah ijab kabul ialah Jangan ada yang memisahkan, pembeli jangan diam saja setelah penjual menyatakan ijab dan sebaliknya. Serta jangan diselingi dengan kata-kata lain antara ijab dan kabul.Beragama Islam, syarat ini khusus untuk pembeli saja dalam benda-benda tertentu.
2.      penjual dan pembeli.Syarat bagi penjual dan pembeli yaitu, syarat kewenangan wilayah dan syarat kecakapan. Pengertian kecakapan disini ialah dalam hal bertindak hukum secara sempurna. Diantara memiliki kecakapan bertindak hukum secara sempurna adalah ketika mencapai aqil dan baligh
3.      syarat-syarat yang terkait dengan barang yang diperjualbelikan (Ma’kud alaih) sebagai berikut:
a. Barang itu ada atau tidak ada di tempat, tetapi pihak penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu.
b. Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia. Oleh sebab itu, bangkai, khamar, dan darah tidak sah menjadi objek jual beli.
c. Milik seseorang. Barang yang sifatnya belum dimiliki seseorang tidak boleh diperjualbelikan.
d. Boleh diserahkan saat akad berlangsung atau pada waktu yang disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.
Berdasarkan rukun dan syarat tersebut, maka pada semua kasus telah terpenuhi semua rukun dan syarat tersebut. Dengan demikian, jual beli yang dilakukan dalam praktik lelang barang jaminan adalah sah. Apalagi jika dilihat dari segi akibatnya, pihak pegadaian sebagai penjual merasa rela dengan harga yang ditetapkan. Dalam Islam melakukan transaksi jual beli juga harus diperhatikan unsur kerelaan dari kedua belah pihak serta dengan cara yang baik dan benar. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. An-Nisa/4:29.
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh Allah Maha Penyayang kepadamu.
Dilihat dari segi proses negosiasi yang dilakukan jelaslah bahwa semua kasus praktik lelang barang jaminan tersebut tidak bertentangan dengan jual beli yang dilarang, karena tidak ada unsur tipuan dalam penentuan harga dan kerugian yang dialami bukan ada unsur kesengajaan,melainkan karena dilihat dari hasil uji kualitas emas yang dibakar berubah warna menjadi seperti kemerah-merahan yang mempengaruhi berat timbangan emas tersebut menjadi turun sehingga harga jual merugi. Mengenai keuntungan yang didapat oleh pegadaian pada prinsipnya merupakan perkara yang jaiz (boleh) yaitu berupa keuntungan telah ditetapkan penjual barang itu, kelebihan barang setelah dijual menurut harga yang telah ditentukan oleh pemilik barang tersebut. Besarnya keuntungan yang didapat yang penting tidak mengandung keharaman dan kedzaliman dalam pencapainya yang demikian dibenarkan. Hal ini jelaslah praktik lelang ini tidak termasuk jual beli yang dilarang, jual beli yang dilarang oleh agama antara lain: jual beli gharar, yaitu jual beli yang samar sehingga ada kemungkinan terjadi penipuan. Membeli barang dengan harga yang lebih mahal daripada harga pasar, sedangkan dia tidak menginginkan barang itu, tetapi semata-mata supaya orang lain tidak dapat membeli barang itu. Membeli barang yang sudah dibeli orang lain yang masih dalam masa khiyar.
Penjualan barang gadai setelah jatuh tempo adalah sah. Hal itu, sesuai dengan maksud dari pengertian hakikat gadai itu sendiri, yaitu sebagai kepercayaan dari suatu utang untuk dipenuhi harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya dari orang yang berpiutang. Karena itu, barang gadai dapat dijual untuk membayar utang, dengan cara mewakilkan penjualannya kepada orang yang adil dan terpercaya. Gadai hukumnya jaiz (boleh), Allah berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah/2:283:
Artinya: Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena barang siapa menyembunyikannya, sungguh hatinya kotor (berdosa). Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.95 Gadai atau pinjaman dengan jaminan suatu benda memiliki beberapa rukun, antara lain:
a. Kalimat akad (lafadz), seperti “Saya rungguhkan ini kepada engkau untuk utangku yang sekian kepada engkau”. Jawab dari yang berpiutang: “Saya terima rungguhan ini”.
b. Yang merungguhkan dan yang menerima rungguhan; disyaratkan keduanya ahli (berhak membelanjakan hartanya).
c. Barang yang dirungguhkan.
d. Ada utang disyaratkan keadaan utang telah tetap.
Adapun syarat-syarat gadai adalah baligh dan berakal, sighat, utang itu boleh dilunasi dengan jaminan, utang itu jelas dan tertentu, dan barang jaminan itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan utang.
Dalam masalah gadai perlu diperhatikan statusnya. Dalam kaitan ini statusnya tetap gadai karena:
a. Telah diterima barangnya oleh yang menerima gadaian dan uang oleh yang menggadaikan.
b. Barang gadaian berada pada orang yang menerima gadaian sebagai amanat. Bila barang itu hilang, wajib diganti.
c. Orang yang menerima gadaian, berhak menegur yang menggadaikan bila waktunya sudah habis, atau menjual barang gadaiannya.
d. Biaya pemeliharaan barang yang digadaikan adalah kewajiban yang menggadaikan.
Lelang barang jaminan pada Perum Pegadaian Syariah Cabang Kebun Bunga Banjarmasin ini berlaku bagi barang jaminan nasabah yang telah jatuh tempo.Akan tetapi nasabah tidak melunasi dan tidak ingin melakukan perpanjangan waktu.
Jual beli dengan cara lelang merupakan upaya pihak pegadaian untuk menutupi kerugian uang pinjaman nasabah yang tidak di bayar cicilan perbulan. Sebelum lelang di laksanakan pihak pegadaian terlebih dahulu telah memberitahukan kepada nasabah yang bersangkutan melalui telepon maupun surat, apabila nasabah tidak menanggapi pemberitahuan itu maka pihak pegadaian akan melakukan lelang.Dalam proses pelaksanaan lelang terlebih dahulu barang yang akan di lelang dipisahkan dan di taksir ulang serta di tentukan limit lelang.
Adapun proses pelelangan barang jaminan adalah sebagai berikut:
a. Satu minggu sebelum pelelangan, diberitahukan kepada nasabah yang barangnya akan dilelang.
b. Ditetapkan harga emas oleh Pegadaian pada saat pelelangan, dengan margin 2 % untuk pembeli.
c. Harga penawaran yang naik oleh banyak orang tidak dibolehkan, sehingga memungkinkan nasabah merugi dikarenakan dikuatirkan pembeli bersepakat untuk menurunkan harga pelelangan. Oleh karena itu, pihak Pegadaian melakukan pelelangan terbatas, hanya memilih beberapa pembeli (3-4).
d. Hasil pelelangan akan digunakan untuk biaya penjualan 1 % dari harga jual, biaya pinjaman 4 bulan, dan sisanya dikembalikan ke nasabah.
e. Sisa kelebihan yang tidak diambil selama 1 tahun, dikembalikan kepada baitul maal yang terakreditasi.
Apabila barang yang digadaikan tidak laku dilelang maka barang tersebut akan dilelang pada periode berikutnya atau bisa dibeli oleh pegadain sendiri dan kerugian yang timbul ditanggung oleh Perum Pegadaian.
Pada kasus satu, barang jaminan yang dilelang oleh pegadaian mengalami kerugian yang disebabkan oleh hasil uji kualitas emas rendah yang mana emas tersebut mengalami perubahan warna seperti kemerah-merahan. Sehingga juga berpengaruh terhadap harga jual emas tersebut. Pihak Pegadaian tetap menjual karena beranggapan bahwa hasil penjualan lelang itu masih mampu menutupi kerugian dari pinjaman nasabah yang tidak dibayar.
Pada kasus dua, penjualan dari hasil lelang Pihak Pegadaian mengalami untung, meskipun keuntungan yang didapat tidak terlalu besar. Barang jaminan yang dilelang tersebut tidak mengalami perubahan warna, hal ini menandakan bahwa kualitas emas yang dijual bagus, sehingga pembeli berani menawar dengan harga yang lebih tinggi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada semua kasus, hukum jual belinya adalah sah karena telah terpenuhi rukun dan syaratnya.Rukun jual beli adalah orang yang berakad, barang yang diakadkan, dan sighat. Syarat yang berakad : berakal, dengan kehendak sendiri, keduanya tidak mubazir, dan baligh. Syarat yang diakadkanbersih barangnya, dapat di manfaatkan, milik orang yang melakukan akad, mampu menyerahkannya, barang itu diketahui oleh si penjual dan si pembeli dengan terang zatnya, bentuk kadar (ukuran) dan sifatnya, dan barang yang di akadkan ada di tangan. Syarat sighat adalah keadaaan ijab dan kabul berhubungan, adanya kemufakatan keduanya walaupun lafaz keduanya berlainan, keadaan keduanya tidak di sangkutpautkan dengan urusan lain, dan waktunya tidak dibatasi, sebab jual beli berwaktu seperti sebulan atau setahun tidak sah.
Dalam tinjauan ekonomi Islam praktik lelang barang jaminan ini tidak ada larangan secara syariah, namun secara maslahah mursalah akan kurang menguntungkan bagi pihak pegadaian, karena kemungkinan harga beli kurang optimal oleh pembeli barang gadai yang dijual tersebut karena keterbatasan pembeli dan juga kadang menimbulkan kerugian apabila barang jaminan itu tidak laku dijual maka pihak pegadaian sendiri membelinya.Seharusnya lelang yang dilakukan oleh pegadaian syariah dengan sistem terbuka, sehingga hukum permintaan dan penawaran terjadi secara wajar yang memungkinkan pihak pegadaian mendapatkan harga pasar yang optimal.
3.      Penerapan Bai Munaqashah (tender)
1)      Pembuktian Unsur-unsur dalam Persekongkolan Tender
Dalam memutuskan perkara persekongkolan tender, KPPU menggunakan dasar hukum Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999. Berdasarkan Pasal 22 tersebut, dapat dikatakan bahwa ketentuan tentang persekongkolan tender terdiri atas beberapa unsur, yakni unsur pelaku usaha, bersekongkol, adanya pihak lain, mengatur dan menentukan pemenang tender, serta persaingan usaha tidak sehat. Istilah “pelaku usaha” diatur dalam Pasal 1 angka 5 UU Nomor 5 Tahun 1999. Adapun istilah “bersekongkol” diartikan sebagai kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pihak lain atas inisiatif siapapun dan dengan cara apapun dalam upaya memenangkan peserta tender tertentu. Di samping itu, unsur “bersekongkol” dapat pula berupa:
1.      kerjasama antara dua pihak atau lebih;
2.      secara terang-terangan maupun diam-diam melakukan tindakan penyesuaian dokumen dengan peserta lainnya;
3.      membandingkan dokumen tender sebelum penyerahan;
4.      menciptakan persaingan semu;
5.      menyetujui dan atau memfasilitasi terjadinya persekongkolan;
6.      tidak menolak melakukan suatu tindakan meskipun mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenangkan peserta tender tertentu;
7.      pemberian kesempatan eksklusif oleh penyelenggara tender atau pihak terkait secara langsung maupun tidak langsung kepada pelaku usaha yang mengikuti tender, dengan cara melawan hukum.       
Kerjasama antara dua pihak atau lebih dengan diam-diam biasanya dilakukan secara lisan, sehingga membutuhkan pengalaman dari lembaga pengawas persaingan guna membuktikan adanya kesepakatan yang dilakukan secara diam-diam. Dalam penawaran tender yang dikuasai oleh kartel akan semakin mempersulit upaya penyelidikan ini, kecuali terdapat anggota yang “berkhianat” membongkar adanya persekongkolan tersebut.
Adanya unsur “pihak lain” menunjukkan bahwa persekongkolan selalu melibatkan lebih dari satu pelaku usaha. Pengertian pihak lain dalam hal ini meliputi para pihak yang terlibat, baik secara horisontal maupun vertikal dalam proses penawaran tender. Pola pertama adalah persekongkolan horisontal, yakni tindakan kerjasama yang dilakukan oleh para penawar tender, misalnya mengupayakan agar salah satu pihak ditentukan sebagai pemenang dengan cara bertukar informasi harga serta menaikkan atau menurunkan harga penawaran. Dalam kerjasama semacam ini, pihak yang kalah diperjanjikan akan mendapatkan sub kontraktor dari pihak yang menang. Namun demikian, KPPU kadangkala menemukan unsur “pihak lain” yang bukan merupakan pihak yang terkait langsung dalam proses penawaran tender, seperti pemasok atau distributor barang dan atau jasa bersangkutan.
Berikut adalah contoh persekongkolan horisontal dalam kasus yang melibatkan beberapa perusahaan yang beroperasi di bidang pengadaan jasa konstruksi minyak bumi. Perkara ini berawal dari penawaran tender pengadaan pipa casing dan tubing yang dilakukan oleh perusahaan tersebut dengan menetapkan persyaratan baru, sehingga tidak semua peserta tender yang biasanya dapat ikut serta dalam penawaran memenuhi persyaratan.
Persyaratan tersebut antara lain mengharuskan para penawar (bidders) memiliki semua items, yang terdiri dari high grade dan low grade, padahal tidak semua penawar memiliki kedua fasilitas tersebut, sehingga penawar yang memenuhi persyaratan hanya mengarah pada dua perusahaan besar, meskipun pada akhirnya salah satu dari kedua perusahaan mengundurkan diri sebagai penawar. Berkaitan dengan hal ini, perusahaan minyak bumi sebagai pelaksana tender (PT-CPI) mengemukakan alasan, bahwa persyaratan itu merupakan kebijakan untuk melakukan efisiensi secara menyeluruh, guna menekan tingkat persediaan (inventory level), biaya pengadaan (procurement cost), dan lamanya pengadaan (cycle time) barang. 
          Proses penawaran tersebut tetap dilaksanakan, karena pihak yang tidak memiliki fasilitas lengkap tetap dapat melakukan penawaran dengan persyaratan, bahwa mereka harus mendapatkan supporting letter dari perusahaan yang memenuhi persyaratan lengkap. Namun adanya persyaratan ini dimanfaatkan oleh mereka untuk melakukan kerjasama, dengan cara melakukan pertemuan rahasia dengan agenda saling bertukar informasi, yakni di satu sisi penawar harus menunjukkan harga penawaran agar mendapatkan supporting letter dari penawar yang memiliki fasilitas lengkap. Tindakan ini bertentangan dengan Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, yakni ketentuan tentang persekongkolan, sehingga KPPU memerintahkan PT-CPI untuk menghentikan kegiatan tersebut.
Pola yang kedua adalah persekongkolan tender secara vertikal, artinya bahwa kerjasama tersebut dilakukan antara penawar dengan panitia pelaksana tender. Dalam hal ini, biasanya panitia memberikan berbagai kemudahan atas persyaratan-persyaratan bagi seorang penawar, sehingga dia dapat memenangkan penawaran tersebut. Kasus seperti ini pernah terjadi dalam perkara penawaran tender pengadaan sapi bakalan kereman yang dilaksanakan Dinas Peternakan Pemerintah Propinsi Jawa Timur. Perkara mengenai pengadaan sapi bakalan kereman impor yang melibatkan Koperasi Pribumi Indonesia (KOPI), didasarkan pada Putusan Nomor 7/KPPU-LI/2001 adalah bermula dari pengumuman tender secara terbuka di berbagai media massa oleh panitia penyelenggara. Sejak awal pendaftaran sampai diputuskannya pemenang tender, panitia telah mengisyaratkan bahwa proyek tersebut dimenangkan oleh KOPI. Rekayasa tersebut terlihat dari beberapa cara, antara lain membolehkan KOPI mengikuti pelelangan meskipun tidak memiliki Tanda Daftar Rekanan (TDR), tidak memenuhi persyaratan administratif maupun syarat lainnya, seperti pengalaman impor sapi dari Australia, dan keterlambatan kehadiran KOPI pada saat berlangsungnya penawaran. Meskipun tidak memenuhi persyaratan tersebut, KOPI bersama-sama dengan Pejabat Dinas Peternakan dan beberapa anggota DPRD melakukan perjalanan ke Australia, untuk melakukan survey atas kondisi sapi yang akan diimpor ke Indonesia. Pada akhirnya, panitia menunjuk KOPI sebagai pelaksana dari proyek pengadaan sapi impor tersebut, meskipun koperasi tersebut tidak memenuhi persyaratan RKS (Rencana Kerja dan Syarat-syarat) pada penawaran lelang terdahulu, seperti pemilikan kandang berkapasitas 5000 ekor sapi, pengalaman impor sapi dan sebagainya. Penunjukan ini dilakukan hanya berdasarkan rapat di antara panitia lelang, Satuan Petugas (Satgas), dan Kepala Dinas Peternakan. Mereka melakukan penunjukan langsung melalui Negosiasi Harga dan Teknis, yang isinya antara lain mengesampingkan persyaratan administrasi maupun teknis. Semua fakta yang disertai dengan bukti-bukti yang mendukung di atas mengarah pada terjadinya persekongkolan yang didasarkan Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Pola ketiga adalah persekongkolan horisontal dan vertikal, yakni persekongkolan antara panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan dengan pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa. Persekongkolan ini dapat melibatkan dua atau tiga pihak yang terkait dalam proses tender, misalnya tender fiktif yang melibatkan panitia, pemberi pekerjaan, dan pelaku usaha yang melakukan penawaran secara tertutup. Sebagai contoh jenis tender ini adalah Tender Proyek Multi Years di Riau. Dugaan bermula dari adanya penawaran tender proyek multi years yang terdiri dari 9 paket pekerjaan, oleh Pemerintah di Bidang Prasarana Jalan Propinsi Riau dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2004. Panitia memfasilitasi bidder tertentu dengan cara mengundurkan waktu pengembalian dokumen penawaran, serta memfasilitasi para bidder lainnya untuk melakukan kerja sama semu dengan cara mengundurkan waktu pengembalian dokumen prakualifikasi. Atas beberapa kegiatan yang dilakukan panitia tender, pejabat yang bersangkutan dengan beberapa bidder dikenakan Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999.
Unsur Pasal 22 selanjutnya adalah “mengatur dan atau menentukan pemenang tender”. Unsur ini diartikan sebagai suatu perbuatan para pihak yang terlibat dalam proses tender secara bersekongkol, yang bertujuan untuk menyingkirkan pelaku usaha lain sebagai pesaingnya dan/atau untuk memenangkan peserta tender tertentu dengan berbagai cara. Pengaturan dan/atau penentuan pemenang tender tersebut meliputi, antara lain menetapkan kriteria pemenang, persyaratan teknik, keuangan, spesifikasi, proses tender, dan sebagainya. Pengaturan dan penentuan pemenang tender dapat dilakukan secara horisontal maupun vertikal, artinya baik dilakukan oleh para pelaku usaha atau panitia pelaksana.    
Unsur yang terakhir dari ketentuan tentang persekongkolan adalah terjadinya “persaingan usaha tidak sehat” Unsur ini menunjukkan, bahwa persekongkolan menggunakan pendekatan rule of reason, karena dapat dilihat dari kalimat “…sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”. Pendekatan rule of reason merupakan suatu pendekatan hukum yang digunakan lembaga pengawas persaingan untuk mempertimbangkan faktor-faktor kompetitif dan menetapkan layak atau tidaknya suatu hambatan perdagangan. Artinya untuk mengetahui apakah hambatan tersebut bersifat mencampuri, mempengaruhi, atau bahkan mengganggu proses persaingan.
2) Sanksi dalam Persekongkolan Tender
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 hanya memberikan kewenangan kepada KPPU untuk menerapkan sanksi administratif terhadap pihak-pihak yang melanggar ketentuan undang-undang tersebut. Berdasarkan hasil pemeriksaan perkara-perkara mengenai persekongkolan tender, maka unsur pelaku usaha dapat dikategorikan menjadi dua macam, yakni pihak ”terlapor”, yang merupakan peserta tender, dan ”pihak lain”, yang bukan peserta tender tetapi mendukung terjadinya persekongkolan tersebut. Dengan demikian ”pihak lain” selain meliputi pelaku usaha (selain peserta tender), termasuk pula panitia tender.   
Pada perkara persekongkolan tender Proyek Multi Years di Riau dan tender Pengadaan Bakalan Sapi Impor di Jawa Timur, KPPU menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha selaku peserta tender. KPPU tidak memiliki kewenangan menjatuhkan sanksi kepada ”pihak lain” yakni Panitia tender, karena di kedua perkara tersebut, panitia adalah Pemerintah Daerah setempat. Kewenangan KPPU hanya sebatas memberikan rekomendasi kepada atasan pejabat (panitia) yang bersangkutan untuk menjatuhkan sanksi administratif kepada mereka. Putusan KPPU yang memberikan rekomendasi pada atasan pejabat tersebut di atas hanya mengikat tetapi tidak memiliki kekuatan hukum eksekusi apapun. Hal ini karena sifat putusan adalah declaratoir. Rekomendasi pemeriksaan dan penjatuhan sanksi administratif terhadap ketua panitia tender merupakan langkah inisiatif KPPU untuk mengantisipasi tidak adanya (berwenangnya) penjatuhan putusan condemnatoir.
Berkaitan dengan tiadanya kewenangan KPPU untuk menjatuhkan putusan atau sanksi yang bersifat condemnatoir, terdapat gagasan baru untuk mempertimbangkan agar putusan dimaksud dapat dikenakan terhadap panitia tender yang notabene adalah pejabat pemerintah, selaku ”pihak lain” dalam tender. Hal ini mengingat, bahwa hampir semua pengadaan barang dan/atau jasa pemerintah dilakukan dan atau dibawah pengawasan langsung pejabat bersangkutan. Oleh karena itu, setiap pejabat pemerintah yang sekaligus merupakan Panitia tender seharusnya dianggap bertanggung jawab atas terselenggaranya tender dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat.
Dalam putusan perkara persekongkolan tender Pengadaan Tinta Sidik Jari Pemilu Legislatif 2004, KPPU merekomendasikan agar pengguna barang diperiksa dan dijatuhi sanksi administratif. Namun dalam putusan declaratoirnya, KPPU tidak menyatakan bahwa pengguna barang yang bersangkutan melakukan pelanggaran atas Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999. Rekomendasi ini berbeda dengan dua putusan perkara persekongkolan tender lainnya, di mana rekomendasi diberikan atas dasar pelanggaran terhadap Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999. Rekomendasi tanpa adanya pernyataan pelanggaran merupakan cacat hukum.
Sedangkan dalam perkara persekongkolan tender Lelang Gula ilegal dan tender Pengadaan Tinta Pemilu Legislatif Tahun 2004, KPPU menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha peserta tender serta ”pihak lain”. Dalam Lelang Gula Ilegal, Sukamto Effendy yang merupakan wakil PT Bina Muda Perkasa secara sengaja mengundurkan diri untuk memfasilitasi Angels Products agar memenangkan tender.
Dalam tender pengadaan Tinta Sidik Jari Pemilu Legislatif Tahun 2004 dilakukan dengan cara pertemuan antara para anggota beberapa konsorsium guna meminta dukungan pasokan tinta dan melakukan pengaturan harga. Para anggota konsorsium juga saling mempertukarkan informasi mengenai harga dan membagi pekerjaan di antara mereka, bahkan mengikut sertakan pihak lain, yakni Melina Alaydroes sampai selesainya pekerjaan. Dalam hal ini, PT Mustika Indra Mas dianggap sebagai pelaku usaha yang berkedudukan sebagai peserta tender, dan ketujuh konsorsium terkait dengan tender merupakan ”pihak lain”. Demikian pula PT Multi Mega Service, PT Senorotan Perkasa, PT Nugraha Karya, PT Tricipta Adimandiri, PT Yanaprima Hastapersada, PT Nugraha Karya Oshinda, PT Fulcomas Jaya, PT Wahgo International Corporation, dan PT Lina Permai Sakti sebagai para pelaku usaha peserta tender. Sedangkan para anggota konsorsium merupakan ”pihak lain” yang bukan sebagai peserta tender.
Sanksi administratif yang dijatuhkan terhadap pelaku usaha tersebut (baik ”peserta tender” maupun ”pihak lain”) di atas adalah memerintahkan untuk menghentikan kegiatan yang merupakan tindak lanjut dari persekongkolan tender, yakni dengan memerintahkan pemenang tender untuk menghentikan kegiatan pembangunan jalan selambat-lambatnya 30 hari sejak diterimanya petikan Putusan KPPU, memerintahkan pelaku usaha untuk membayar ganti rugi, memerintahkan pelaku usaha untuk membayar denda satu milyar rupiah, dan atau melarang pelaku usaha mengikuti atau terlibat dalam tender sejenis selama jangka waktu tertentu.
Putusan KPPU yang berisi sanksi administratif disebut dengan condemnatoir atau putusan yang bersifat menghukum. Sedangkan putusan yang isinya menyatakan bahwa pelaku usaha tertentu secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 disebut putusan declaratoir atau bersifat menerangkan.
Dalam hal putusan KPPU berupa denda dan atau ganti rugi, maka para pihak yang dijatuhi putusan tersebut wajib membayar ke Kas Negara. Namun dalam hal putusan KPPU memerintahkan untuk menghentikan kegiatan, atau melarang pelaku usaha mengikuti atau terlibat dalam tender sejenis selama jangka waktu tertentu, maka menimbulkan masalah dalam memintakan eksekusi ke Pengadilan Negeri. Hal ini mengingat bahwa putusan yang dapat dimintakan eksekusi adalah putusan yang berujud pembebanan denda dan atau ganti rugi.
Putusan-putusan tersebut mengikat dan harus dilaksanakan oleh pelaku usaha terkait dengan perkara setelah berkekuatan hukum tetap. Apabila dalam jangka waktu 30 hari setelah putusan berkekuatan hukum tetap, namun pelaku usaha tidak melaksanakannya, maka KPPU melakukan permohonan penetapan eksekusi ke Pengadilan Negeri. Jika kemudian para pelaku usaha tidak juga melakukan putusan tersebut, maka KPPU akan menyerahkan putusan penetapan eksekusi tersebut kepada Polri (penyidik), guna melakukan penyidikan atas ketidak-patuhan para pelaku usaha tersebut. 
Dengan demikian tender yang di lakukan tidak sesuai dengan teori dasar di karenakan tender yang dilakukan terdapat kecurangan-kecurangan.




BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Murabahah berasal dari kata al-ribh (keuntungan), secara bahasa Murabahah  yaitu saling memberi keuntungan. Murabahah berasal dari kata al-ribh (keuntungan), secara bahasa Murabahah  yaitu saling memberi keuntungan.  Jenis-Jenis Bai’ Murabahah di bagi menjadi dua yaitu murabahah tanpa pesanan dan murabahah berdasarkan pesanan. Murabahah tanpa pesanan bersifat mengikat dan murabahah berdasarkan pesanan bersifat tidak mengikat. Hukum bai murabahah diantaranya dari al-Qur’an yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu” (QS. An-Nisaa:29). Rukun Dan Syarat-Syarat Bai’ Murabahah Adanya pihak-pihak yang melakukan akad, yaitu: Penjual dan Pembeli. Obyek yang diakadkan, yang mencakup: Barang yang diperjualbelikan dan Harga. Akad/Sighat yang terdiri dari: Ijab (serah) dan Qabul (terima).
Bai' muzayadah atau juga dipanggil sebagai jual beli secara lelong (auction). Dalam transaksi ini, barang lelongan akan dijual kepada pembeli yang dapat menawarkan harga yang paling tinggi. Hukum lelang dalam syariat Islam boleh, Ibnu Abdil Barr berkata “Sesungguhnya tidaklah haram menjual barang kepada orang yang menambah harga demikianlah menurut kesepakatan ulama. Rasulullah pernah dalam suatu waktu pernah melakukan lelang yaitu ketika ada seorang pengemis yang meminta-minta dan diDalam satu Hadis yang diriwayatkan oleh abu Najih daripada Mujahid dimana Rasulullah SAW bersabda: "Seseorang boleh melakukan jual beli secara lelongan. Dengan cara demikianlah seperlima harta rampasan perang dapat dijualsana Rasulullah melakukan lelang terhadap barang yang dimiliki seorang pengemis tersebut. Jenis-jenis Bai’ Muzaayadah dibagi menjadi dua yaitu lelang naik dan lelang turun. Sistem lelang dibagi menjadi dua yaitu lelang terbuka dan lelang tertutup.
Bai’Munaqosah (Tender) adalah suatu proses penyeleksian yang melibatkan beberapa perusahan yang mana pemenang akan melaukan kerjasama dengan perusahan tersebut. Contoh ; pemerintah pusat sedang menjalankan proyek pembangunan gedung DPR baru , pemerintah pusat memerlukan bahan-bahan untuk pembuatan gedung tersebut . kemudian pemerintah melakukan tender dengan perusahan-perusahan yang dapat menyediakan barang-barang kebutuhan tersebut . dalam penyeleksiannya terdapat lima perusahan yang mengikuti tender .kemudain kelima perusahan tersebut menyerah kan proposal mereka dan menpresentasiakannya . setelah itu pemerintah akan memilih perusahan yang mana yang akan memenangkan proses terder tersebut, setelah mempetertimbangkan dengan seksama sesuai kebutuhan nya. Bai’Munaqosah (tender)  juga sering dipakai untuk pelaksanaan suatu proyek di mana pemilik proyek melakukan lelang dan calon peserta/pelaksana proyek mengajukan penawaran atau tender dengan persaingan harga terendah dan barang/jasa yang sesuai. mengenai tender pada substansinya tidak jauh berbeda ketentuan hukumnya dari lelang karena sama-sama penawaran suatu barang/jasa untuk mendapatkan harga yang dikehendaki dengan kondisi barang/jasa sebagaimana diminati. syariat Islam memberikan panduan dan kriteria umum sebagai guide line yaitu di antaranya:1.Transaksi dilakukan oleh pihak yang cakap hukum atas dasar saling sukarela (‘an taradhin). 2. objek lelang dan tender harus halal dan bermanfaat, 3. kepemilikan penuh pada barang atau jasa yang dijual, 4. kejelasan dan transparansi barang/jasa yang dilelang atau dutenderkan tanpa adanya manipulasi seperti window dressing atau lainnya.5.kesanggupan penyerahan barang dari penjual 6.Kejelasan dan kepastian harga yang disepakati tanpa berpotensi menimbulkan perselisihan. Tidak menggunakan cara yang menjurus kepada kolusi dan suap untuk memangkan tender dan tawaran

DAFTAR PUSTAKA
Dr. Jaih Mubarak, M.Ag , Perkembangan FATWA EKONOMI SYARI’AH di Indonesia, (Bandung: Pustataka Bany Quraisy), h. 61-62










[1]Dr. Jaih Mubarak, M.Ag , Perkembangan FATWA EKONOMI SYARI’AH di Indonesia, (Bandung: Pustataka Bany Quraisy), h. 61-62
[3]http://ryanrahmadi99.blogspot.co.id/2013/04/makalah-murabahah.html Diakses pada 13 September 2015  pukul 14.30


[4]http://alhushein.blogspot.co.id/2011/12/murabahah.html Di akses pada 13 September 2015 pukul 14.30
[5]http://dayafikir.blogspot.co.id/2011/03/bai-muzayadah.htmlDiakses pada 13  September 2015  pukul 14.00
[6]http://eprints.walisongo.ac.id/1330/3/072411091_Bab2.pdfDiakses pada 14 September 2015  pukul 10.00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar